Subscribe Us

Mengenal Surat Al-Fatihah


Surat Al-Fatihah ialah surat urutan pertama dalam mushaf `Utsmânî,  artinya “Pembuka”. Surat yang diturunkan di Makah dan terdiri dari 7 ayat ini adalah surat yang pertama diturunkan dengan lengkap dan termasuk golongan Surat Makiyyah. 
Surat ini disebut “Al-Fâtihah” (Pembuka) karena menandakan dimulainya Al-Qur’an; Dinamai pula dengan “Umm al-Qur’ân” (induk Al-Qur’an) atau “Umm al-Kitâb” (induk Al-Kitab) karena merupakan induk bagi semua isi al-Qur’an, serta menjadi intisari kandungan al-Qur’an, yang karenanya wajib dibaca ketika shalat; Dinamai pula “Al-Sab`u al-Matsânî” (tujuh yang berulang-ulang) karena ayatnya berjumlah tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.

Sejumlah pertanyaan bermunculan mengenai alasan peletakan surat al-Fâtihah di urutan pertama, padahal surat yang pertama kali turun adalah surat al-`Alaq (ayat 1 sampai 5). Mengenai hal ini, Ustâdz Syaikh Muhammad al-Madanî menjawab, “Seandainya al-Qur’an disusun sesuai dengan urutan turunnya, pastilah sebagian orang akan memahaminya bahwa al-Qur’an itu diturunkan hanya sesuai dan untuk suatu peristiwa saja. Atau, merupakan peraturan temporer untuk memecahkan masalah yang terjadi pada masa Rasulullah saja. Padahal, Allah menghendaki agar al-Qur’an berlaku umum (mencakup segala permasalahan) dan bersifat universal, tidak hanya untuk satu masa dan kaum. Maka, disusunlah al-Qur’an dengan sistematika sekarang yang memperlihatkan universalitas dan kekekalannya, dan dijauhkan dari susunan yang bersifat temporer, yang hanya memperlihatkan urgensi pada suatu masa saja, yakni ketika turunnya.”
Mengenai pertanyaan kenapa surat al-Fâtihah yang diletakkan pada urutan pertama, nampaknya karena surat disinyalir merupakan intisari al-Qur’an yang karenanya surat ini dinamai pula dengan “Umm al-Qur’an” (Induk al-Qur’an). Di samping itu, surat ini memiliki keistimewaan dan keutamaan yang tidak dimiliki surat lainnya sebagaimana  dituturkan oleh Rasulullah dalam riwayat Ibn Hibbân dari Ubai bin Ka`ab r.a., “Tidak pernah Allah menurunkan di dalam Taurat dan Injil yang menyamai Umm al-Qur’ân (Al-Fâtihah).” “Fâtihah al-Kitâb (al-Fâtihah) adalah surat yang paling mulia di dalam al-Qur’an.”
Diriwayatkan dari `Alî bin Abî Thâlib r.a., bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca Fâtihah al-Kitab (al-Fâtihah), maka seakan-akan dia telah membaca Taurat, Injil, Zabur, dan al-Furqân (al-Qur’an).” Imâm Ibn al-Qayyim al-Jauzî menegaskan bahwa al-Qur’an, khususnya al-Fâtihah, dapat mengobati penyakit jasmani dan rohani. Mungkin karena itulah surat ini dinamai pula al-syifâ’ (obat).  Keistimewaan lain surat ini adalah diwajibkan dibaca setiap kali shalat, karena itulah surat ini dinamai al-sab` al-matsânî (tujuh yang berulang-ulang), sebagaimana diisyaratkan pula dalam al-Qur’an surat al-Hijr [15]:87, “Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Qur’an yang agung.”
Juga yang diisyaratkan sabda Nabi sebagaimana dikemukakan al-Bukhârî bahwa Abû Sa`îd, yakni Râfi’ bin al-Mu`allâ r.a. mengatakan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda kepadanya,  “Maukah saya ajari kamu surat al-Qur’an yang paling agung sebelum kamu keluar dari masjid?” Beliau lalu memegang tanganku. Ketika kami hendak keluar dari masjid, saya mengingatkan, “Wahai Rasulullah, tadi engkau berjanji mengajariku surat al-Qur’an yang paling agung.” Beliau menjawab, “(Surat itu adalah) Al-hamdulillâhi rabbill`âlamîn, yakni tujuh ayat yang diulang-ulang (dalam shalat) dan al-Qur’an paling agung yang telah diturunkan padaku.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
Allah berfirman: “Aku membagi shalat (surat Al-Fâtihah) menjadi dua bagian, untuk Aku dan untuk hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Apabila seorang hamba mengucapkan, “Alhamdulillâh Rabbil ‘Âlamîn”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Apabila hamba-Ku mengucapkan, “Ar-Rahmân Ar-Rahîm”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku benar-benar telah menyanjung-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan, “Mâliki yaumiddîn.” Maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliakan Aku.” Apabila hamba itu mengucapkan, “Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika hamba tersebut mengucapkan, “Ihdinash shirâthal mustaqîm, shirâtal ladzîna an’amta ‘alaihim ghairil maghdûbi ‘alaihim waladh dhâllîn.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.”
Surat ini mengandung beberapa unsur pokok yang mencerminkan seluruh isi Al-Qur’an, yaitu:
1.    Keimanan. Isyarat keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat pada ayat 2.  Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan ucapan syukur atas sesuatu nikmat hanyalah milik Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber segala nikmat. Di antara nikmat  itu ialah: nikmat  menciptakan, nikmat  mendidik dan menumbuhkan, sebab kata “Rabb” dalam kalimat “Rabb al-`âlamîn” tidak hanya berarti “Tuhan” dan “Penguasa”, tetapi juga mengandung arti tarbiyah, yaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala nikmat yang terdapat dalam diri seseorang dan segala alam ini bersumber dari Allah karena Tuhan-lah Yang Maha Berkuasa di alam ini. Pendidikan, penjagaan, dan penumbuhan oleh Allah di alam ini harus diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu penge­tahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemu­liaan Allah serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka di dalam surat al-Fâtihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu: “Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în” (hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan). Yang dimaksud dengan “Yang menguasai hari pembalasan” ialah pada hari itu Allah-lah yang berkuasa, segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya sambil meng­harap nikmat dan takut kepada siksaan-Nya. Hal ini mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. ”Ayat” 5 semata-mata ditujukan kepada Allah.
2.    Kedua, hukum-hukum: Yakni, jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat. Maksud “hidayah” di sini ialah hidayah yang menjadi sebab perolehan keselamatan, kebahagiaan dunia, dan akhirat, baik yang mengenai keyakinan maupun akhlak, hukum-hukum dan pelajaran.
3.    kisah-kisah. Yakni, kisah para nabi dan orang-orang dahulu yang menentang Allah. Sebahagian besar ayat-ayat al-Qur’an memuat kisah para nabi dan orang-orang dahulu yang menentang Allah. Yang dimaksud dengan orang yang diberi nikmat  dalam ayat ini ialah para nabi, para shiddîqîn (orang-orang yang sungguh-sungguh beriman), syuhadâ’ (orang-orang yang mati syahid), dan shâlihîn (orang-orang yang shaleh). “Orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat” ialah golongan yang menyimpang dari ajaran Islam. Perincian dari yang telah disebutkan di atas terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an pada surat-surat yang lain.
Dalam metrik kehidupan kita, al-Fâtihah dapat digambarkan sebagai lembaran kontrak sekaligus panduan kita hidup di dunia. Di sana akan ditemukan peta, panduan, dan rambu yang memandu dan menuntun kita menuju jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqîm) sehingga kita tidak tersesat (dhalâl dan ghadhab). Al-Fâtihah merupakan kunci kesusksesan di dunia dan akhirat. Wallâhu a`lam bish shawâb.*** (Bey, 1976; Depag, 1971:3—4; Ghazâlî, 1995:7; Thabrasî, I, 1379:18).
Oleh:
Al-Faqir ila Rahmati Rabbi, Rosihon Anwar

Posting Komentar

0 Komentar