Merajut sebuah ilmu dan menjadikannya sehelai
kain yang didalamnya penuh akan keindahan corak dan warna, inilah yang
diidamkan seluruh ahli sufi. Rajutan demi rajutan tentang segala pemahaman
ilmu, penghayatan dan keluasan tentang segala kebesaran Alloh, perjalanan dan
pengorbanan yang selalu dilakoninnya sedari kecil, membuat segala macam ilmu
yang ada padanya, menjadikannya derajat seorang waliyulloh kamil.
Dalam
pandangan para waliyulloh, dimana badan telah tersirat asma’ Alloh dan segala
tetesan darahnya telah mengalir kalimat tauhid, dimana setiap detak jantung
selalu menyerukan keagunganNya dan setiap pandangan matanya mengandung makna
tafakkur, tiada lain orang itu adalah seorang waliyulloh agung yang mana jasad
dan ruhaniyahnya telah menyatu dengan dzat Alloh. Inilah sanjungan yang
dilontarkan oleh seluruh bangsa wali kala itu pada sosok, kanjeng Syeikh Siti
Jenar.Rohmat yang tersiram didalam tubuhnya, ilmu yang tersirat disetiap
desiran nafasnya, pengetahuan tentang segala makna ketauhidan yang bersemayam
didalam akal dan hatinya, membuat kanjeng Syeikh Siti Jenar menjadi seorang
guru para wali.
Lewat
kezuhudan yang beliau miliki serta keluasan ilmu yang dia terapkan, membuat
segala pengetahuannya selalu dijadikan contoh. Beliau benar benar seorang guru
agung dalam mengembangkan sebuah dhaukiyah kewaliyan/tentang segala pemahaman
ilmu kewaliyan. Tak heran bila kala itu banyak bermunculan para waliyulloh
lewat ajaran ilafi yang dimilikinya.
Diantara
beberapa nama santri beliau yang hingga akhir hayatnya telah sampai kepuncak
derajat waliyulloh kamil, salah satunya, sunan Kali Jaga, raden Fatah, kibuyut
Trusmi, kigede Plumbon, kigede Arjawinangun, pangeran Arya Kemuning, kiageng
Demak Purwa Sari, ratu Ilir Pangabean, gusti agung Arya diningrat Caruban, Pangeran
Paksi Antas Angin, sunan Muria, tubagus sulthan Hasanuddin, kiAgeng Bimantoro
Jati, kiSubang Arya palantungan dan kigede Tegal gubug.
Seiring
perjalanannya sebagai guru para wali, syeikh Siti Jenar mulai menyudahi segala
aktifitas mengajarnya tatkala, Syarief Hidayatulloh/ sunan Gunung Jati, telah
tiba dikota Cirebon. Bahkan dalam hal ini bukan hanya beliau yang menyudahi
aktifitas mengajar pada saat itu, dedengkot wali Jawa, sunan Ampel dan sunan
Giri juga mengakhirinya pula.
Mereka
semua ta’dzim watahriman/ menghormati derajat yang lebih diagungkan, atas
datangnya seorang Quthbul muthlak/ raja wali sedunia pada zaman tersebut, yaitu
dengan adanya Syarief Hidayatulloh, yang sudah menetap dibumi tanah Jawa.
Sejak
saat itu pula semua wali sejawa dwipa, mulai berbondong ngalaf ilmu datang
kekota Cirebon, mereka jauh jauh sudah sangat mendambakan kedatangan, Syarief
Hidayatulloh, yang ditunjuk langsung oleh, rosululloh SAW, menjadi sulthan
semua mahluk ( Quthbul muthlak )
Nah,
sebelum di kupas tuntas tentang jati diri, syeikh Siti Jenar, tentunya kita
agak merasa bingung tentang jati diri, Syarief Hidayatulloh, yang barusan
dibedarkan tadi. "Mengapa Syarief Hidayatulloh kala itu sangat disanjung
oleh seluruh bangsa wali ?".
Dalam
tarap kewaliyan, semua para waliyulloh, tanpa terkecuali mereka semua sudah
sangat memahami akan segala tingkatan yang ada pada dirinya. Dan dalam
tingkatan ini tidak satupun dari mereka yang tidak tahu, akan segala derajat
yang dimiliki oleh wali lainnya. Semua ini karena Alloh SWT, jauh jauh telah
memberi hawatief pada setiap diri para waliyulloh, tentang segala hal yang
menyangkut derajat kewaliyan seseorang.
Nah,
sebagai pemahaman yang lebih jelas, dimana Alloh SWT, menunjuk seseorang
menjadikannya derajat waliyulloh, maka pada waktu yang bersamaan, nabiyulloh,
Hidir AS, yang diutus langsung oleh malaikat, Jibril AS, akan mengabarkannya
kepada seluruh para waliyulloh lainnya tentang pengangkatan wali yang barusan
ditunjuk tadi sekaligus dengan derajat yang diembannya.
Disini
akan dituliskan tingkatan derajat kewaliyan seseorang, dimulai dari tingkat
yang paling atas. "Quthbul muthlak- Athman- Arba’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’
– Nujaba’ – Abdal- dan seterusnya". Nah dari pembedaran ini wajar bila
saat itu seluruh wali Jawa berbondong datang ngalaf ilmu ketanah Cirebon,
karena tak lain didaerah tersebut telah bersemayam seorang derajat, Quthbul
muthlak, yang sangat dimulyakan akan derajat dan pemahaman ilmunya.
Kembali
kecerita syeikh Siti Jenar, sejak adanya, Syarief Hidayatulloh, yang telah
memegang penting dalam peranan kewaliyan, hampir seluruh wali kala itu belajar
arti ma’rifat kepadanya, diantara salah satunya adalah, syeikh Siti Jenar
sendiri.
Empat
tahun para wali ikut bersamanya dalam “Husnul ilmi Al kamil"/
menyempurnakan segala pemahaman ilmu, dan setelah itu, Syarief Hidayulloh,
menyarankan pada seluruh para wali untuk kembali ketempat asalnya masing
masing. Mereka diwajibkan untuk membuka kembali pengajian secara umum sebagai
syiar islam secara menyeluruh.
Tentunya
empat tahun bukan waktu yang sedikit bagi para wali kala itu, mereka telah
menemukan jati diri ilmu yang sesungguhnya lewat keluasan yang diajarkan oleh
seorang derajat, Quthbul mutlak. Sehingga dengan kematangan yang mereka
peroleh, tidak semua dari mereka membuka kembali pesanggrahannya.
Banyak
diantara mereka yang setelah mendapat pelajaran dari, Syarief Hidayatulloh,
segala kecintaan ilmunya lebih diarahkan kesifat, Hubbulloh/ hanya cinta dan
ingat kepada Alloh semata. Hal seperti ini terjadi dibeberapa pribadi para wali
kala itu, diantaranya; syeikh Siti Jenar, sunan Kali Jaga, sulthan Hasanuddin
Banten, pangeran Panjunan, pangeran Kejaksan dan Syeikh Magelung Sakti.
Mereka
lebih memilih hidup menyendiri dalam kecintaannya terhadap Dzat Alloh SWT,
sehingga dengan cara yang mereka lakukan menjadikan hatinya tertutup untuk
manusia lain. Keyakinannya yang telah mencapai roh mahfud, membuat tingkah
lahiriyah mereka tidak stabil. Mereka bagai orang gila yang tidak pernah punya
rasa malu terhadap orang lain yang melihatnya.
Seperti
halnya, syeikh Siti Jenar, beliau banyak menunjukkan sifat khoarik/ kesaktian
ilmunya yang dipertontonkan didepan kalayak masyarakat umum. Sedangkan sunan
Kali Jaga sendiri setiap harinya selalu menaiki kuda lumping, yang terbuat dari
bahan anyaman bambu. Sulthan Hasanuddin, lebih banyak mengeluarkan fatwa dan
selalu menasehati pada binatang yang dia temui.
Pangeran
Panjunan dan pangeran Kejaksaan, kakak beradik ini setiap harinya selalu
membawa rebana yang terus dibunyikan sambil tak henti hentinya menyanyikan
berbagai lagu cinta untuk tuannya Alloh SWT, dan syeikh Magelung Sakti, lebih
dominan hari harinya selalu dimanfaatkan untuk bermain dengan anak anak.
Lewat
perjalanan mereka para hubbulloh/ zadabiyah/ ingatannya hanya kepada, Alloh SWT,
semata. Tiga tahun kemudian mereka telah bisa mengendalikan sifat kecintaannya
dari sifat bangsa dzat Alloh, kembali kesifat asal, yaitu syariat dhohir.
Namun
diantara mereka yang kedapatan sifat dzat Alloh ini hanya syeikh Siti Jenar,
yang tidak mau meninggalkan kecintaanya untuk tuannya semata ( Alloh ) Beliau
lebih memilih melestarikan kecintaannya yang tak bisa terbendung, sehingga
dengan tidak terkontrol fisik lahiriyahnya beliau banyak dimanfaatkan kalangan
umum yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu kewaliyan.
Sebagai
seorang waliyulloh yang sedang menapaki derajat fana’, segala ucapan apapun
yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar kala itu akan menjadi nyata, dan semua
ini selalu dimanfaatkan oleh orang orang culas yang menginginkan ilmu kesaktiannya
tanpa harus terlebih dahulu puasa dan ritual yang memberatkan dirinya.
Dengan
dasar ini, orang orang yang memanfaatkan dirinya semakin bertambah banyak dan
pada akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan untuk melawan para waliyulloh.
Dari kisah ini pula, syeikh Siti Jenar, berkali kali dipanggil dalam sidang
kewalian untuk cepat cepat merubah sifatnya yang banyak dimanfaatkan orang
orang yang tidak bertanggung jawab, namun beliau tetap dalam pendiriannya untuk
selalu memegang sifat dzat Alloh.
Bahkan
dalam pandangan, syeikh Siti Jenar sendiri mengenai perihal orang orang yang
memenfaatkan dirinya, beliau mengungkapkannya dalam sidang terhormat para
waliyulloh; “Bagaiman diriku bisa marah maupun menolak apa yang diinginkan oleh
orang yang memanfaatkanku, mereka semua adalah mahluk Alloh, yang mana setiap
apa yang dikehendaki oleh mereka terhadap diriku, semua adalah ketentuanNya
juga" lanjutnya.
“Diriku
hanya sebagai pelantara belaka dan segala yang mengabulkan tak lain dan tak
bukan hanya dialah Alloh semata . Karena sesungguhnya adanya diriku adanya dia
dan tidak adanya diriku tidak adanya dia. Alloh adalah diriku dan diriku adalah
Alloh, dimana diriku memberi ketentuan disitu pula Alloh akan mengabulkannya.
Jadi janganlah salah paham akan ilmu Alloh sesungguhnya, karena pada
kesempatannya nanti semua akan kembali lagi kepadaNya."
Dari
pembedaran tadi sebenarnya semua para waliyulloh, mengerti betul akan makna
yang terkandung dari seorang yang sedang jatuh cinta kepada tuhannya, dan semua
waliyulloh yang ada dalam persidangan kala itu tidak menyalahkan apa barusan
yang diucapkan oleh, syeikh Siti Jenar.
Hanya
saja permasalahannya kala itu, seluruh para wali sedang menapaki pemahaman ilmu
bersifat syar’i sebagai bahan dasar dari misi syiar islam untuk disampaikan
kepada seluruh masyarakat luas yang memang belum mempunyai keyakinan yang
sangat kuat dalam memasuki pencerahan arti islam itu sendiri. Wal hasil, semua
para wali pada saat itu merasa takut akan pemahaman dari syeikh siti jenar,
yang sepantasnya pemahaman beliau ini hanya boleh didengar oleh oleh orang yang
sederajat dengannya, sebab bagaimanapun juga orang awam tidak akan bisa
mengejar segala pemahaman yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar.
Sedangkan
pada saat itu, syeikh Siti Jenar yang sedang kedatangan sifat zadabiyah, beliau
tidak bisa mengerem ucapannya yang bersifat ketauhidan, sehingga dengan cara
yang dilakukannya ini membawa dampak kurang baik bagi masyarakt luas kala itu.
Nah, untuk menanggulangi sifat syeikh Siti Jenar ini seluruh para wali akhirnya
memohon petunjuk kepada Alloh SWT, tentang suatu penyelesaian atas dirinya, dan
hampir semua para wali ini mendapat hawatif yang sama, yaitu :
"Tiada
jalan yang lebih baik bagi orang yang darahnya telah menyatu dengan tuhannya,
kecuali dia harus cepat cepat dipertemukan dengan kekasihnya". Dari hasil
hawatif para waliyulloh, akhirnya syeikh Siti Jenar dipertemukan dengan
kekasihnya Alloh SWT, lewat eksekusi pancung. Dan cara ini bagi syeikh Siti
Jenar sendiri sangat diidamkannya. Karena baginya, mati adalah kebahagiaan yang
membawanya kesebuah kenikmatan untuk selama lamnya dalam naungan jannatun
na’im.
0 Komentar