Subscribe Us

Filsafat Indonesia



BAB III
FILSAFAT INDONESIA

Oleh         : Wawan Ridwan 
Dosen Pengampu : Mayor Inf. Drs. Deden Koswara, M.Si

Pemikiran Filsafat Indonesia memiliki satu karakter tersendiri, yang berbeda dengan filsafatt barat, yang bersumber dari filsafat Yunani yang lebih mengutamakan rasionalitas, materialistis, individualistis. Materi pemikiran Filsafat Indonesia adalah yang bersumber dari akar hikmat yang terkandung dalam khazanah budaya Indonesia yang seringkali kita menyebutnya sebagai budaya timur.
Dan menunjukkan suatu kepribadian Indonesia. Khazanah budaya timur tersebut bias dijumpai dalam berbagai adat istiadat, peribahasa, pepatah dan sebagainya yang beraneka ragam suku, bahasa, budaya pulau-pulau yang mewarnai pola pemikiran filsafat Indonesia, yang hal tersebut menjadi cirri khas dari filsafat bangsa Indonesia.
            Perubahan situasi kondisi bangsa Indonesia dari Negara jajahan menjadi suatu negara merdeka yang berdaulat semakin memperkuat dan membentuk kepribadian bangsa Indonesia.
            Filsafat Indonesia atau falsafah hidup bangsa Indonesia dibuat lima dasar yang dikenal dengan nama Pancasila, yang merupakan satu kebulatan tunggal dan bersifat abstrak, universal dan berhakikat pada Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil.
         Melihat situasi dan perkembangan social budaya masyarakat Indonesia dewasa ini, penulis memandang adanya kelunturan terhadap pemahaman dan inkonsistensi unsur aplikatif terhadap nilai yang terkandung didalam falsafah Pancasila. Adanya kelunturan nilai-nilai Pancasila tersebut bias dilihat dari beberapa indikasi dibawah ini :
1.      Nilai Ketuhanan, banyak munculnya yang mengaku nabi baru, aliran-aliran sesat, yang seakan-akan memproklamirkan keyakinan baru yang ingin diakui Negara, hal ini juga bias dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman mayarakat akan agama, dan IPTEK yang tidak Pancasilais, pemerintah / tokoh agama juga ikut berperan dengan keadaan ini dengan ikut mengabaikan sebuah stigma keyakinan adalah suatu kebebasan pribadi, tetapi hal tersebut harus ditempatkan pada porsinya.
2.      Nilai Kemanusiaan, Pencurian bantuan-bantuan sumbangan untuk korban bencana alam, adalah sesuatu hal yang menurut penulis adalah sebuah tindakan yang tidak beradab dan tidak bermoral. Memberikan bantuan kemanusiaan dengan ditumpangi kepentingan pribadi / golongan juga menjadi bagian dari indikasi ini, walaupun kadarnya berbeda tetapi pada dasarnya membantu sesame adalah ikhlas dan tanpa pamrih.
3.      Nilai Persatuan, Perbedaan pendapat adalah rakhmat dan tidak akan hilang selama kehidupan manusia berlangsung. Tetapi jika hal tersebut berujung pada disintegrasi dan kontak fisik negatif adalah bukan indikasi positip dari nilai persatuan. Demonstrasi anarkis, bentrokan antar simpatisan kontestan pemilihan, gerakan separatis adalah ancaman besar dari nilai persatuan ini.
4.      Nilai Kerakyatan, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Wakil rakyat didalam struktur Negara lupa akan nilai ini, janji wakil rakyat disaat kampanye hanya isapan jempol belaka. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merebak dimana-mana dari institusi terbawah hingga institusi tertinggi, rakyat meradang dan memeras keringat darah, rakyat yang diwakilinya tetap jelata.
5.      Nilai Adil, Salah satu imbas dari lunturnya nilai kerakyatan tersebut diatas adalah hilangnya rasa keadilan dan kesosialan di masyarakat, gelandangan dan pengemis, rakyat kolong jembatan yang hamper mewarnai sudut ibukota dan hamper tidak terkendali, busung lapar, makan nasi aking, hak tenaga kerja yang dikebiri adalah sebagian kecil dari gambaran hilangnya rasa keadilan dan rasa sosial di masyarakat Indonesia.

            Beberapa contoh lunturnya nilai-nilai filsafat Pancasila tersebut diatas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penulis menyatakan faktor-faktor tersebut diantaranya :
1.      Adanya stigma negative, dan pemerintah / sebagian elit masyarakat berada didalamnya dengan membuat penganalogian bahwa beberapa nilai teoritis dan aplikasi falsafah Pancasila selalu diidentikkan dengan bagian Orde Baru yang ingin mereka tinggalkan. Penataran P4, BP7, GBHN adalah sebagian diantaranya.
2.      Tidak jelasnya system politik di Indonesia, dimana kebikjakan-kebijakan pejabat eksekutif  / pemerintah akan selalu berorientasi pada kepentingan politik / partainya. Disuatu waktu pejabat berbicara sebagai pemerintah dan diwaktu berlkainan dia berbicara sebagai kader politik, yang berimbas pada aplikasi kebijakan di masyarakat dan suatu hal yang kurang sehat bagi kehidupan politik dan kehidupan sosial bermasyarakat.
3.      Adanya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, sehingga dengan hamper sangat telanjang masyarakat terhidang banyak informasi dari luar yang belum difilter dengan baik dan belum tentu sesuai dengan falsafah Panxasila, dan mengancam pemikiran generasi pemuda penerus falsafah Pancasila. Internet dengan mudah dan tanpa batas bias diakses melalui telepon seluler oleh semua kalangan termasuk remaja yang belum siap menerima dengan baik, dan salah satunya berimbas pada pergaulan sex pranikah, narkoba adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan, media televisi yang notabene hamper dimiliki setiap rumah tidak memiliki orientasi yang jelas terhadap tanggung jawab moral masyarakat, sebagai media komersil mereka cenderung mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan financial semata.
4.      Adanya aplikasi dan penejawantahan pemahaman reformasi yang salah kaprah dan kebablasan, dengan runtuhnya Orde Baru pada mei 1998, mereka menganggap sebaga pemenang dan lupa bahwa mereka juga penerus falsafah Pancasila. Maka dengan pemahaman mereka sendiri menerjemahkan arti reformasi, dan nilai-nilai Pancasila yang terdapat pada produk Orde Barupun ditinggalkan.
5.      Konsumerisme, adanya sebagian besar dari karakter masyarakat kita yang cenderung konsumtif yang juga dipengaruhi kemajuan IPTEK. Mereka beranggapan bahwa Pancasila telah membatasi “hak Azasi” nya, sehingga nilai-nilai Pancasila yang bertentangan tersebut ditinggalkan. Seniman-seniman hiburan abad modern yang secara mental belum siap menerima limpahan materi dengan tanpa malu-malu memamerkan gaya hidupnya, perkawinan dengan biaya tinggi dan dengan waktu seumur jagung bercerai, skandal perselingkuhan, dan menganggap bahwa hal tersebut menjadi lumrah, dan media televisipun ikut berperan tanpa melihat siapa yang menonton itu semua.
6.      Haru diakui bahwa kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia belum bias dikatakan sebagai kualitas sumber daya manusia yang “elit” dan “unggul”, sehingga pemikir-pemikir ulung yang lahir masih terbatas dan tidak seimbang dengan besarnya bangsa Indonesia. Kurangnya sumber daya manusia ini juga mengakibatkan sedikit sekali melahirkan pemikiran-pemikiran yang brilian akan nilai Pancasila.
7.      Kurang teraplikasinya normatifitas ritualitas religious dengan aktualitas realitas, bias dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dengan menempatkan Tuhan diurutan pertama Pancasila, tetapi masih banyak dalam pelaksanaan kehidupan keseharian masyarakat, ritualitas religi ini masih banyak yang melakukan “pencitraan” dirinya terhadap Tuhannya. Dengan tidak melaksanakan apa yang terkandung dalam nilai religi ini dengan praktik kehidupan sesungguhnya.

            Penulis menyatakan bahwa Orde Baru atau Orde Lama bukasn Pancasila, dan Pancasila pun bukan Orde Baru atau Orde Lama, tetapi poin penting yang ingin disampaikan adalah : bahwa pancasila adalah pemikiran hidup dan kepribadian bangsa Indonesia sejak ribuan tahun lalu, dan dengan terbebasnya bangsa kita dari penjajahan semakin melegalkan akan Panxasila itu dari generasi ke generasi. Terlepas dari kelemahan dan kekurangan tiap orde / pemerintahan, nilai-nilai Pancasila harus tetap dipelihara  dilanjutkan dan diaplikasikan dalam kehidupan, dan penulis kritis dabn prihatin terhadap realitas yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini.
            Mungkin disetiap Negara, tidak hanya di Indonesia, beberapa contoh lunturnya nilai-nilasi filosofi negara akan selalu ada dan semua warga Negara tidak akan terpuaskan dan terakomodasi, tetapi melihat gejala yang timbul di masyarakat kita, jika tidak ada perbaikan dan keinginan semua fihak untuk mewarnai kembali nilai-nilai Pancasila tersebut bukan tidak mungkin akan menuju kehancuran. Maka dari itu, penulis sebagai mahasiswa ikut member sumbang saran akan gejala yang timbul, diantaranya :
1.      Berikan pendidikan nilai luhur Pancasila baik dalam lembaga formal maupun non formal sejak usia dini, jika orde sekarang berkeberatan dengan produk orde sebelumnya, buat format baru yang nilai dan bobotnya lebih baik lagi.
2.      Batasi partai politik yang menjadi wadah aspirasi rakyat, penulis anggap 5 partai poltik adalah jumlah yang ideal untuk lebih mengedepankan azas persatuan. Karena terlalu banyak partai politik akan rentan perpecahan. Pemisahan kepentingan pejabat Negara dan kader politik termasuk didalamnya.
3.      Batasi akses internet dengan regulasi yang ketat, terutama untuk usia dini, pemerintah, sekolah, orang tua harus berperan serta.
4.      Media Massa harus punya orientasi yang jelas, olah raga, hiburan, berita, agama dan sebagainya dengan mempertimbangkan nilai luhur bangsa Indonesia.

            Sumbang saran tersebut hanyalah gambaran umum saja dari rangkaian permasalahan yang terjadi, namun setidaknya bila hal tersebut ada yang bias direalisasikan dengan baik, setidaknya akan ikut memperbaiki apa yang menjadi keresahan yang terjadi di masyarakat, dan kembali kepada manusia Indonesia seutuhnya yang berfalsafah Pancasila.

Sambungan dari BAB I-II                                 Bersambung ke  BAB IV Pendidikan Kewarganegaraan

Posting Komentar

0 Komentar