Pendapat pertama: Tauqifi:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang mengurusinya
sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Jibril 'alaihissallaam
berdasarkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Qur’an sejak zaman
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tersusun surat-surat dan
ayat-ayatnya seperti tertib (urutan) yang ada di zaman kita sekarang. Yaitu
urutan mushaf Utsmani yang tidak ada satu Shahabatpun yang mempermasalahkannya,
dan tidak adanya penentangan dari mereka, adalah dalil yang menujukkan bahwa
mereka telah ijma’ dalam masalah itu.
Dan yang menguatkan pendapat ini: Bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam membaca sebagian surat al-Qur’an di dalam shalat dengan
tertib (urutan). Ibnu Abi Syaibah rahimahullah neriwayatkan:”Sesungguhnya
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menggabungkan al-mufashshol (surat-surat
pendek) dalam satu raka’at.”Imam al-Bukhari rahimahullah
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata
tentang surat Bani Israil (al-Israa’), al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Anbiyaa’ :”semuanya
termasuk surat-surat yang turun di Mekah dan yang pertama-tama aku pelajari.”
Maka dia radhiyallahu 'anhu menyebutkan dengan urut sebagaimana urutan yang ada
sekarang.
Dari Thariq bin Wahb dari Sulaiman bin Bilal, dia
berkata:”Aku mendengar Rabi’ah ditanya:”Kenapa al-Baqarah dan Ali ‘Imraan
didahulukan padahal telah turun di Mekah 80-an surat sebelum kedua surat itu,
padahal keduanya turun di Madinah?” Maka dia menjawab:”Keduanya
didahulukan, dan al-Qur’an disusun (diurutkan) berdasarkan ilmu/pengetahuan
dari yang menyusunnya.” Lalu ia berkata:”Dan inilah hasil akhirnya, dan
tidak perlu ditanyakan.” (al-Itqaan)
Ibnul Hashaar mengatakan:”Pengurutan surat-surat dan
penempatan ayat-ayat pada tempatnya hanyalah berdasarkan wahyu semata, dahulu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:’ Tempatkan ayat ini di
tempat ini.’ Dan telah tercapai keyakinan (kepastian) dalam hal ini dengan
adanya riwayat mutawatir dengan urutan seperti ini dari bacaan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, dan dari apa yang disepakati (ijma’) oleh para
Shahabat radhiyallahu 'anhum tentang penempatannya (ayat dan surat) seperti itu
pada mushaf.”
Pendapat Kedua: Dengan Ijtihad:Yaitu bahwa tertib surat berdasarkan ijtihad dari para Shahabat radhiyallahu
'anhum, buktinya adalah berbedanya mushaf-mushaf mereka di dalam
pengurutannya. Sebagai contoh mushaf ‘Ali tertib (urutannya) berdasarkan
waktu turunnya, diawali dengan surat al-‘Alaq, kemudian al-Muddatstsir, surat
al-Qalam, kemudian al-Muzzammil dan seterusnya sampai akhir surat Makiyyah dan
Madaniyyah.
Mushaf Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu diawali dengan
surat al-Baqarah, kemudian an-Nisaa’, kemudian Ali ‘Imran. Mushaf Ubay radhiyallahu
'anhu diawali dari surat al-Fatihah, kemudian al-Baqarah, kemudian
an-Nisaa’ lalu Ali ‘Imraan.
Telah diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata:”Aku berkata kepada ‘Utsman radhiyallahu 'anhu:’Apa
yang mendorongmu untuk mengambil surat al-Anfaal yang ia termasuk al-Matsani
dan surat Bara’ah/at-Taubah, lalu anda menggandengkan antara keduanya, dan kenapa
anda tidak menuliskan:
بسم الله الرحمن الرحيم
lalu engkau menempatkannya ke dalam kelompok as-Sab’ul
Matsani?’Maka ‘Utsman radhiyallahu 'anhu menjawab:’Dahulu turun surat yang
memiliki sejumlah ayat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
apabila turun kepada beliau sebagian dari surat tersebut, beliau memanggil
sebagian penulis wahyu, lalu beliau bersabda:’Tempatkan surat ini pada surat
yang di dalamnya disebutkan ini dan itu. Dan al-Anfaal termasuk salah satu
surat yang pertama-tama turun di Madinah, dan al-Bara’ah termasuk salah satu
surat yang paling akhir turun dan kisah keduanya mirip, maka aku mengira ia
bagian dari al-Anfaal. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat,
dan beliau tidak menjelaskan kepada kami bahwa ia bagian dari al-Anfaal. Maka
oleh karena itu aku gandengkan keduanya, dan aku tidak menuliskan di antara
kedua surat tersebut:
بسم الله الرحمن الرحيم
Lalu aku menempatkannya di as-Sab’u ath-Thiwal.’” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, Ibnu Hibban, dan al-Hakim
rahimahumullah)
Pendapat Ketiga: Sebagian tauqifi dan sebagian dengan
ijtihad para Shahabat: Yang mana ada
riwayat-riwayat yang menunjukkan tertib (pengurutan) sebagian surat di zaman
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Telah datang riwayat yang menunjukkan bahwa
tertib as-Sab’u ath-Thiwal, al-Hawaamiim (surat yang diawali dengan Haamiim),
al-Mufashshal (surat-surat pendek), pada masa beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam masih hidup. Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam beliau bersabda:
اقرؤوا الزهراوين البقرة وسورة آل عمران
Bacalah Az-Zahrawain, yakni Al-Baqarah dan surah Ali
Imran.” (HR. Muslim)
Dan juga diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam apabila hendak tidur setiap malamnya menggabungkan
(menempelkan) kedua telapak tangannya, kemudian meniupnya lalu membaca:
al-Ikhlash dan al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas). (HR. al-Bukhari)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:”Tertib sebagian
surat-surat atau sebagian besarnya tidak mengahalanginya untuk disebut tauqifi.”
dia berdalil dengan hadits dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang
menyatakan:”Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada
kami:’Telah datang kepadaku waktu untuk pembagian al-Qur’an ke dalam hizb-hizb,
maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai darinya.’ Maka kami tanyakan kepada
para Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:’Bagaimana kalian
membuat hizb (1 hizb=1/2 juz) al-Qur’an?’ Mereka menjawabnya:’Kami memasukan
tiga surat dalam satu hizb, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas
surat, tiga belas surat dan hizb al-Mufashal dari surat Qaaf sampai akhir
al-Qur’an.’”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:”Ini menunjukkan bahwa
tertib (urutan) al-Qur’an sebagaimana yang ada dalam mushaf yang sekarang ini
telah dikenal di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” dia berkata
lagi:”Dan mungkin saja yang yang sudah tertib (urut) pada masa itu hanyalah
hizb al-Mufashshal saja, bukan yang lainnya.”
Apabila kita mendebat ketiga pendapat di atas maka akan
jelas bagi kita:
Bahwa pendapat yang mengatakan bahwa pengurutan surat
adalah dengan dasar ijitihad para Shahabat tidak memiliki landasan dalil yang
bisa dijadikan pegangan.
Maka ijtihad sebagian Shahabat dalam pengurutan
mushaf-mushaf mereka secara khusus adalah atas kehendak mereka sendiri sebelum
pengumupulan/penyusunan al-Qur’an secara tertib. Ketika al-Qur’an disusun pada
zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu dengan tertib ayat dan surat di atas satu
huruf/bacaan, ummat pun sepakat dengan hal itu dan mereka meninggalkan
mushaf-mushaf mereka. Kalau seandinya tertib (pengurutan) adalah berdasarkan
ijtihad niscaya mereka akan berpegangteguh dengan mushaf mereka masing-masing.
Mengenai hadits tentang surat al-Anfaal dan at-Taubah
yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma di atas, isnad/sanadnya
dalam setiap riwayat tidak terlepas dari Yazi dal-Farisi yang oleh al-Bukhari
rahimahullah dikategorikan dalam kelompok dhu’afa(perawi yang lemah). Di
samping itu di dalam hadits ini pun mengandung keraguan mengenai penempatan
Bismillah pada permulaan surat, yang mengesankan seolah-olah ‘Utsman
radhiyallahu 'anhu- lah yang menempatkan dan meniadakannya menurut pendapatnya
sendiri. Oleh karena itu, dalam komentarnya terhadap hadits tersebut pada Musnad
Imam Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menyebutkan:”Hadits ini tidak ada
asal muasalnya.” Paling jauh hadits itu hanya menunjukkan ketidaktertiban
(ketidakurutan) kedua surat tersebut.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian
surat itu tertibnya taufiqi dan sebagian surat yang lainnya ijtihadi;
dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi.
Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menujukkan tertib
ijtihadi. Sebab, penetapan surat-surat yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak
berarti yang selain itu adalah ijtihadi. Di samping itu, yang bersifat demikian
hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat
bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar bin al-Anbari
rahimahullah menyebutkan:”Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan al-Qur’an
seluruhnya ke langit dunia. Kemudian, Dia menurunkannya secara berangsur-angsur
selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena ada suatu masalah yang
terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril
'alaihissallaam senantiasa memberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam di mana surat dan ayat tersebut harusnya di tempatkan. Dengan demikian
susunan surat-surat, seperti halnya susunan ayat-ayat dan huruf-huruf al-Qur’an
seluruhnya berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
barangsiapa mendahulukan suatu surat atau mengakhirkannya, berarti ia telah
merusak tatanan/susunan al-Qur’an.”
Al-Kirmani rahimahullah berkata dalam al-Burhan:”Tertib
surat seperti yang kita kenal sekarang sudah menjadi ketentuan Allah Subhanahu
wa Ta'ala dalam lauhul mahfuzh. Menurut tertib ini pula Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam membacakan di hadapan Jibril 'alaihissallaam setiap tahun.
Demikian juga pada akhir hayatnya beliau membacakan di hadapan Jibril, dangan
tertib/urutan ini sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir turun adalah firman
Allah:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (281)
”Takutlah dengan (azab yang terjadi pada) hari yang pada
waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri
diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang
mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)
Lalu Jibril 'alaihissallaam memerintahkan beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menempatkannya di antara ayat riba dan ayat
tentang utang-piutang.” (al-Itqaan: 1/62)
As-Suyuthi rahimahullah mendukung pendapat al-Baihaqi
rahimahullah yang mengatakan:”Surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an pada masa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah tersusun menurut tertib (urutan) ini
kecuali al-Anfaal dan Bara’ah (at-Taubah),sesuai dengan hadits ‘Utsman
radhiyallahu 'anhu.”
(Sumber: مباحث في علوم القرآن, Syaikh Manna al-Qaththaan, maktabah Ma'arif, Riyadh hal.142-145. diposting oleh Abu Yusuf Sujono)
(Sumber: مباحث في علوم القرآن, Syaikh Manna al-Qaththaan, maktabah Ma'arif, Riyadh hal.142-145. diposting oleh Abu Yusuf Sujono)
0 Komentar