BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam adalah Agama yang suci dan
diridhoi oleh Alloh SWT, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat
untuk semesta alam. Oleh karena itu Islam sangat menjaga sekali akan keadilan
dan prikemanusiaan seluruh umat. Islam juga sangat mementingkan pemeliharaan
terhadap 5 (lima) hal yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Indonesia
yang mayoritas penduduknya adalah agama Islam sangatlah memprihatinkan, jika
kita sedikit menengok dan menganilisis realita sosial yang penuh dengan
kedzaliman dan sudah keluar dari koridor prikemanusiaan yang diamanahkan dalam
pancasila. Mulai fenomena penindasan, kemiskinan, pengusuran, dan pembunuhan
massal yang dilakukan oleh oknum yang tidak mempunyai hati nurani dan iman. Dan
juga fenomena-fenomena yang berkontradiksi dengan syaria’at agama yang
akhir-akhir ini sering kita lihat dan jumpai dalam media informasi seperti
induksi haid
Terlepas dari masalah ini, hukum
induksi haid sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslimin, baik
kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi seorang muslim,
hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain
itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah kewajiban seorang
muslim maka penulis akan membahasnya. Oleh karena itu tim penulis tertarik
meneliti dan menulis makalah yang membahas permasalahan sosial yang kontemporer
seperti ini sesuai dengan dasar dan dalil-dalil yang telah sepakati oleh para
ulama fiqih dan tokoh-tokoh besar Islam. Besar harapan penulis, penulisan ini
dapat dimengerti dan dipahami oleh seluruh umat muslim pada khususnya dan
masyarakat seluruhnya pada umumnya. Sehingga mereka semua memperkaya cakrawala
keilmuannya dan dapat menyebarkan cakrawala yang yang telah didapatnya,
sehingga ilmu itu menajdi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia yang
mendapatkannya.
B. Rumusan
Masalah
Berangkat dari penjelasan larat belakang di atas, maka kami
dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana pengertian induksi haid?
- Apa saja hokum-hukum haid ?
- Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap induksi haid /
C. Tujuan
Penulisan
- Untuk mengetahui pengertian induksi haid.
- Untuk mengetahui hukum-hukum haid.
- Untuk mengetahui pandangan hukum islam terhadap induksi haid Menambah ilmu pengetahuan dalam pemahaman mengenai masail fiqih yang kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Induksi Haid / Menstrual regulation
adalah merupakan salah satu cara dalam program keluarga berencana (KB) untuk
mengendalikan kehamilan/kelahiran. Keluarga
berencana (KB) adalah suatu ikhtiar atau usaha manusia. untuk mengatur kehamilan dalam
keluarga serta tidak melawan negara dan hukum moral Pancasila demi mendapatkan kesejahteraan
keluarga khususnya dan
kesejahteraan bangsa pada umumnya. Induksi
haid secara harfiah artinya pengaturan menstruasi/ datang bulan/ haid, Mengenal
darah haid dari optik fiqih haid merupakan ketentuan Allah Swt yang berlaku
pada setiap wanita saat menginjak remaja. Dalam sebuah Hadis dinyatakan
Rosulullah Saw.
”Ini (haid) merupakan ketentuan
Allah yang ditetapkan pada wanita-wanita bani Adam” (HR.al Bukhori dan Muslim).
Meski demikian, tak dinafikan juga
ada wanita yang sama sekali tidak pernah mengalami datang bulan (haid), seperti
halnya yang dialami oleh Aisyah ra. Persoalan haid dalam fiqih berkaitan dalam
hukum-hukum ibadah wanita. Dasar pensyariatan terekam dalam firman Allah Swt.
”Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. katakanlah,’ia adalah gangguan.” ( QS.
Al-Baqarah 2 : 222 )
Pertanyaan tentang haid pada ayat tersebut
muncul, pasalnya, karena kebiasaan pria-pria yahudi menghidari wanita yang
sedang haid, bahkan tidak makan bersama mereka dan meninggalkan rumah saat
mereka dalam kondisi seperti itu. Jawaban dalam firman Allah diatas sangat
singkat, namun menginformasikan tentang keadaan wanita yang sedang haid. Haid
disebut gangguan. Maksudnya, seperti dijelaskan Quraish shihab dalam tafsir al
Misbah, haid mengakibatkan gangguhan fisik dan psikis wanita, juga terhadap
pria. Secara fisik, dengan keluarnya darah yang segar mengakibatkan gangguan
pada jasmani wanita. Rasa sakit seringkali melilit perut-nya akibat rahim yang
berkontraaksi. Disisi lain, darah haid itu mengakibatkan nafsu seksual wanita
menurun drastic, emosinya sering tidak terkontrol. Darah yang aromanya tidak
sedap serta tidak menyenagkan untuk dilihat juga menjadi salah satu aspek
gangguan, disamping emosi istri yang tidak setabil yang juga tidak jarang
mengganggu ketenangan suami, atau siapa saja yang ada disamping wanita yang
sedang haid.
Berdasarkan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299, 346, 348 dan 349 negara melarang abortus,
termasuk menstrual regulation dan sangsi hukumannya cukup berat, bahkan
hukumannya tidak hanya di tujukan kepada wanita yang bersangkutan, tetapi semua
orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat di tuntut, seperti dokter, dukun
bayi, tukang obat dan sebagainya yang mengobati atau menyuruh atau yang
mambantu atau yang melakukannaya sendiri.
B. Memahami
Darah Haid
Darah haid biasanya keluar dari
rahim wanita sehat dalam waktu tertentu, bukan karena melahirkan dan bukan
karena ada penyakit dalam rahim. Darah ini lazim disebut darah haid. Uantuk
mengenali darah haid bisa dilihat dari warnanya. Pada mulanya, warna darah
bercorak hitam. Beberapa waktu kemudian berubah warna menjadi merah, kuning,
dan semu diantara putih dan hitam. Keluarnya darah ini menjadi tanda yang
bersangkutan sudah memasuki aqil baligh, yang berarti pertanda awal seorang
wanita dibebeni berbagai hukum syara’(taklif). Ulama fiqih mematok usia wanita
mulai haid minimal umur 9 tahun. Penetapan umur 9 tahun ini didasarkan pada
hasil penlitian induksi (istiqro’) ulama fiqih serta berdasarkan kenyataan yang
ada dizaman mereka.
Menurut Kamil musa tokoh fikih
kontemporer, ada juga wanita haid sebelum 9 tahun, meski hal ini sangat jarang
terjadi. Pada asas ini, mengikut hukum syara’, yang jarang terjadi tidak bisa
dijadikan patokan hukum, disamping bersandar pada kesimpulkan induksi ulama,
juga didasarkan pada sebuah hadis dari Asyiah binti Abi Bakar:
”Apabila
seorang wanita telah berumur 9 tahun, maka ia sudah dianggap dewasa”.
Namun, tidak jarang pula seorang
wanita baru mengalami haid pertama setelah umur 12 tahun, 18 tahun, bahkan 30
tahun. Karena itu menurut Musa Kamil, ulama fiqih lebih memilih patokan umur
untuk menetapkan seseorang mulai diwajibkan menjalankan hukum syarak (taklif).
Para ulama fiqih berbeda soal batasan minimum dan maksimum lamanya masa haid
yang dialami seorang wanita. Madzhab Hanafi berkesimpulan, wanita menjalani
masa haid minimal 3 hari 3 malam dan maksimal 10 hari 10 malam. Lebih dari masa
maksimal tersebut, dianggap bukan darah haid lagi, melainkan berubah menjadi
darah istihadhoh. Versi lain, madzhad Safi’i dan Hambali menetapkan, masa haid
minimal (al-aqdall) 1 hari 1malam. Masa sedang atau lumrah (al-ghalib) 6 atau 7
hari, didasarkan sabda Rasulullah saw. Kepada Mihna binti Jahsy ketika ia
bertanya. Dan Rosul menjawab:
”Jadikanlah masa haidmu selama enam
atau tujuh hari dengan pengetahuan Allah, kenudian mandilah engkau dan
laksanakan Sholat selama 24 hari 24 malam atau 23 malam….”(HR.al-Bukhori,
Abu Dawud, an-Nasa’I, Ahmad bin Hambal,dan at-Tirmdizi).
Menurut kedua madzhab ini, masa haid maksimal (al-aktsar)
yaitu 15 hari. Lebih dari batas maksimal, dianggap bukan darah haid lagi,
tetapi dianggap telah menjadi darah istihadhoh.
C. Hukum – Hukum Haid
Terdapat
banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini
hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:
1. Shalat
Diharamkan
bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah
shalatnya. Juga tidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia
mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu raka’at sempurna, baik pada
awal atau akhir waktunya.
2. Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik itu puasa wajib
mupun puasa sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia
berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah
Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Ketika kami mengalami
haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan
mengqadha’ shalat”.
3. Thawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik
yang wajib maupun yang sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah.
“Artinya : Lakukanlah apa yang
dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum
kamu suci”.
D.
Pendapat MUI tentang
KB
Saat ini para ulama dalam
menghukumi KB akan melihat terlebih dahulu (tafshil), jika KB yang dipakai
masuk dalam kategori tanzhim an-nasl (merencanakan keturunan, tidak pemandulan
secara tetap sehingga memungkinkan untuk memperoleh keturunan lagi) maka
hukumnya boleh (mubah). Sedangkan jika KB yang dipakai masuk dalam kategori
tahdid an-nasl (memutus keturunan, di mana menyebabkan pemandulan tetap) maka
hukumnya haram.
E. Induksi Haid Perspektif Hukum Islam
Di zaman modern, dunia medis
menawarkan aneka obat penahan keluar haid (antihaid), sehingga wanita bisa
mengerjakan ibadah haji secara sempurna dan melaksanakan ibadah puasa Ramadhon
sebulan penuh tanpa haid. Absah atau tidak cara demikian? Syaikh Mar’I bin
Yusuf, Syaikh Ibrohim bin Muhammad (keduanya madzhab hambali) dan Yusuf
al-Qardhawi berpendapat, bahwa wanita boleh menggunakan obat penunda haid guna
menyempurnakan ibadah haji dan puasa. Namun ulama sepakat, penundaan haid
dengan menggunakan obat anti haid untuk selain ibadah haji dan puasa tidak
diperbolehkan.
BAB III
KESIMPULAN
1. Induksi haid secara harfiah artinya
pengaturan menstruasi/ datang bulan/ haid, Mengenal darah haid dari optik fiqih
haid merupakan ketentuan Allah Swt. Yang berlaku pada setiap wanita saat
menginjak remaja.
2. Syaikh Mar’I bin Yusuf, Syaikh
Ibrohim bin Muhammad (keduanya madzhab hambali) dan Yusuf al-Qardhawi
berpendapat, bahwa wanita boleh menggunakan obat penunda haid guna
menyempurnakan ibadah haji dan puasa. Namun ulama sepakat, penundaan haid
dengan menggunakan obat anti haid untuk selain ibadah haji dan puasa tidak
diperbolehkan.
3. Induksi haid yang darurat dan memang
untuk kepentingan kesempurnaan ibadah haji dan puasa maka hal ini pun
dibolehkan oleh para fuqaha. Namun ulama sepakat, penundaan haid dengan
menggunakan obat anti haid untuk selain ibadah haji dan puasa tidak
diperbolehkan.
4. Induksi Haid dalam ibadah haji dan
puasa masih menuai sebuah kontroversi pendapat para alhi fiqih. Hal ini
pastinya akan membuat para umat islam pada khususnya yang masih awam akan
mengalami sebuah dilematis dalam mengambil sikap. Padahal jelas bahwa fenomena
ini sering terjadi dalam lingkungan masyarakat kita di era globalisasi ini.
Agar sikap dilematis ini tidak muncul dalam permukaan masyarakat yang awam, apa
tidak sebaiknya mengenai hukum Induksi Haid dalam ibadah haji dan puasa dapat
tersampaikan dengan baik dalam masyarakat yang sudah jelas dan sudah menjadi
konsensus para ahli fiqih dan alim ulama. Sehingga hal yang tidak kita inginkan
dalam fenomena masyarakat akan sedikit terminimalisisr.
0 Komentar