Subscribe Us

AKAD QORD WAL IJARAH DANA TALANGAN HAJI DALAM UPAYA MEMPERMUDAH PELAYANAN JASA

TINJAUAN HUKUM ISLAM  TERHADAP AKAD QORD WAL IJARAH DANA TALANGAN HAJI DALAM UPAYA MEMPERMUDAH PELAYANAN JASA  
Kajian dari berbagai Sumber

 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Bank syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga, bank syariah atau yang sering disebut dengan Bank Tanpa Bunga adalah lembaga keuangan yang operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan landasan pada Al-Qur’an dan Hadits. Bank syariah juga dapat dikatakan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[1]
Seiring dengan perputaran waktu, perkembangan Bank Syari’ah mengalami booming pada tahun 1992. Di Indonesia, Bank Syariah yang pertama kali didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak melambat, tetapi perbankan syariah di Indonesia terus berkembang. Pada era tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005 jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah.[2]
Perbankan Syariah di Indonesia, bank syariah menggunakan sistem pengembangan yang dilakukan dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap untuk masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiyaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Banyak lembaga keuangan yang menawarkan berbagai macam produk dan fasilitas yang menarik. Dalam hal ini perbankan syari’ah ikut bermunculan untuk memberikan layanan dan fasilitas kepada masyarakat. Kedatangan perbankan syariah disambut dengan suka cita oleh berbagai kalangan umat Islam, dukungan mereka diwujudkan dengan berdirinya lembaga keuangan syari’ah baik bentuk bank maupun non bank.
Dana talangan haji merupakan salah satu produk lembaga keungan syariah baik bank ataupun non bank yang memberikan fasilitas pinjaman dana bagi nasabah yang hendak menunaikan ibadah haji namun memiliki kekurangan dana untuk melunasi syarat minimal setoran awal sebesar Rp 25.000.000.00,- untuk mendapatkan kuota haji.
Dasar hukum produk talangan haji adalah dari fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai fatwa DSN –MUI Nomor 9/DSNMUI/2000. Sehingga apabila diperlukan LKS juga membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan prinsip al-qard wal ijarah sesuai dengan fatwa DSN-MUI Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI) mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya pengembangan produk hukum perbankan syariah. Kedudukan Fatwa DSN-MUI menempati posisi yang strategis bagi kemajuan ekonomi dan lembaga keuangan syariah. Karena dalam perkembangan ekonomi dan perbankan syariah mengacu pada sistem hukum yang dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya berfungsi sebagai pedoman utama bagi mayoritas umat Islam   pada khususnya dan umat-umat lain pada umumnya.[3]
Saat ini perkembangan bisnis layanan jasa haji sektor perbankan syariah  semakin meningkat, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Ini terlihat semakin banyaknya bank-bank yang syariah yang membuka produk layanan jasa pendaftaran haji. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seharusnya  mementingkan kualitas pelayanan yang di berikan kepada para pelanggannya, agar proses lebih dipermudah.
Dengan layanan Syariah, Bank Mandiri Syariah memiliki produk yang banyak diminati oleh masyarakat salah satunya adalah produk dana talangan haji. Dana talangan haji pada dasarnya dalam rangka mempermudah masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Produk ini menggunakan akad qord wal ijarah yang bekerjasama dengan Kementrian Agama RI berdasarkan Sistem Komputerisasi Terpadu (Siskohat), yaitu suatu sistem yang dirancang untuk alat kontrol, penampungan data dan pengolahan data dalam pelaksanaan penyelenggaraan haji.
Berdasarkan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No.29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
1.      Dalam pengurusan haji bagi nasabah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat memperoleh imbalan jasa (ujroh) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000.
2.      Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qord yang diberikan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah.
3.      Apabila diperlukan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-qord sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
Dengan demikian penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam   memerlukan adanya layanan lembaga keuangan berbasis syariah. Masyarakat muslim mengharapkan adanya lembaga yang dapat membantu menyalurkan Ibadah haji sebagai salah satu kewajiban orang Islam   (rukun Islam   yang lima) sekaligus dapat memberikan keringanan dana ibadah haji. Seperti kehadiran produk dana talangan haji dari perbankan syariah menjadi salah satu alternatif bagi muslim yang telah mampu pada saat yang telah ditentukan. Menurut syari’at kalau didudukkan perkaranya, maka Talangan haji adalah upaya untuk membuat seseorang memiliki kemampuan untuk berhaji. Jika sesorang secara finansial memiliki kepastian untuk membayar talangan dimasa yang akan datang, misalnya karena gaji yang cukup, atau penghasilan lain yang stabil, dan sudah barang tentu masuk dalam perhitungan perbankan syariah pemberi talangan, maka baginya dapat dikategorikan sebagai mampu untuk berhaji. Tetapi jika ia tidak memilki kepastian melunasinya dan tentu bank tidak akan memberikan talangan pada nasabah yang demikian itu, ia belum dikategorikan sebagai mampu berhaji.
Pada masyarakat yang demokratis dan berpegang pada prinsip hukum, telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat karena hukum tersebut bersifat aspiratif, sehingga hukum yang ditegakkan mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana yang telah diaspirasikan oleh masyarakat. Pada negara-negara yang sedang dalam masa transisi menuju demokrasi dan menuju ke negara yang menganut prinsip hukum yang berlaku sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Karena hukum-hukum tersebut belum aspiratif (belum sepenuhnya dapat menyuarakan dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat), bahkan sering dituding sebagai suatu hukum yang mencerminkan kehendak dan kepentingan penguasa yang tidak jarang mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasan dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa  dan system pemikiran para ahli hukum sendiri.  Jelas kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup masyarakat.[4]
Berdasarkan Fatwa DSN Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, tidak secara tegas memberikan defenisi mengenai pembiayaan dana talangan haji. Hanya menyatakan bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan pelunasan biaya perjalanan iIbadah haji, dan bahwa lembaga keuangan syariah perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh LKS untuk dijadikan pedoman.[5]
Tujuan dari hukum Islam  adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kemaslahatan. Secara sederhana maslahat (al-maslahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut ilmu itu mengandung kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan bathin.[6] Al Ghazali menformasikan teori kemaslahatan dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudharatan untuk memelihara tujuan syara’. Hal tersebut  dapat diartikan bahwa setiap kegiatan manusia harus bermanfaat bagi umat manusia, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan tujuan dari syariat Islam  .
Berdasarkan pendapat Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh Syekh Abu Zahrah,[7] mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’.
Berdasarkan tingkatan maslahat, maka dana talangan haji itu masuk kedalam maslahat hajiyat, yaitu persolan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kerusakan yang dihadapi. Maslahat ini berkaitan dengan keinginan keinginan dalam hukum Islam, seperti boleh berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir, boleh mengqashar shalat dalam perjalanan. Bila keringanan itu tidak diberikan akan melahirkan kesulitan walaupun tidak mengakibatkan kerusakan atau kegoncangan dalam hidup.[8] Karena ada unsur keringanan disini, artinya naik haji diwajibkan bagi orang-orang yang sanggup, dan kata sanggup dalam Islam   ada tiga unsur, yaitu: sanggup dengan sendirinya, sanggup dengan dibayari oleh orang lain dan sanggup dengan cara berhutang atau dengan dana talangan haji. Keringanan yang diberikan dalam maslahat hajiyat disini bisa diartikan bahwa adanya bantuan dari bank syariah untuk menalangi dana calon jemaah haji yang ingin berangkat haji dengan segera, namun dananya belum mencukupi untuk mendapati nomor porsi haji, lalu bank syariah memberi keringanan dengan memberikan pinjaman kepada calon jemaah haji itu dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
DSN dan Majlis Ulama Indonesia pada tanggal 15 Rabi'ul Akhir 1423 H atau bertepatan dengan tanggal 26 juni 2002 M, menetapkan fatwa DSN-MUI No 29/DSN-MUI/III/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji LKS. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa ketentuan pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah adalah sebagai berikut:[9]
1.      Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai fatwa DSN-MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000.
2.      Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip Al-qord sesuai dengan Fatwa DSNMUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.      Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4.      Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah.
B.     Asumsi
1.      Ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam   dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang orang yang bertaqwa.
2.      Hukum Islam   adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat, yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata, yaitu segala sesuatu yang menjadi pedoman atau yang menjadi sumber syariat Islam   yaitu Al-qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW ).
3.      Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syariat Islam  .
4.      Hadist adalah ucapan Rasulullah Saw  tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal, atau disebut pula sunnah qauliyyah. Hadist merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah.
5.      Fatwa adalah pendapat para ulama untuk menentukan suatu hukum yang tidak jelas pembahasannya di dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga para ulama berijtihad untuk menentukan suatu hukum itu boleh atau tidak.
6.      Akad qord wa ijarah adalah pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan yang diberikan oleh nasabah.
7.      Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain.
8.      Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
9.      Dana talangan haji adalah dana pinjaman (al-qord) kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh porsi haji pada saat pelunasan BPIH, kemudian nasabah berkewajiban mengembalikan dana pinjaman itu dalam jangka waktu tertentu. Sebagai jasanya, Bank Syariah memperoleh imbalan (ujrah) yang besarnya tidak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan dan tidak boleh dipersyaratkan dalam pemberian dana talangan.
10.  Mempermudah pelayanan Jasa, maslahat hajiyat, yaitu persolan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kerusakan yang dihadapi.

BAB II
KAJIAN  TEORITIS TINJAUAN HUKUM ISLAM  
TERHADAP AKAD QORD WAL IJARAH DANA TALANGAN HAJI 
DALAM UPAYA MEMPERMUDAH PELAYANAN JASA 
A.    Landasan Teologis
1.      Landasan Teologis tentang Akad Qord wal ijarah 
Landasan teologis  tentang  akad qord wal ijarah  mengacu pada Al Qur’an surat al-Hadid (57) ayat 11 yang berbunyi :
مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجۡرٞ كَرِيمٞ
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.[10]

Selain itu dalam al-Qur’an QS. Al-Maidah (5) ayat 2 dijelaskan pula  bahwa Allah SWT  memberikan karunia yaitu keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. Keredhaan dari Allah SWT ialah: pahala amalan haji.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحِلُّواْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ وَلَا ٱلۡهَدۡيَ وَلَا ٱلۡقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّهِمۡ وَرِضۡوَٰنٗاۚ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواْۘ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ  

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[11]

2.      Landasan Teologis tentang Pelayanan Jasa
Landasan teologis tentang pelayanan jasa mengacu  pada Al Qur’an surat Az-Zukhruf (43) ayat 32 yang berbunyi :
أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ  

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.[12]


Kemudian didalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 280 :
وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.[13]

Dalam hadist Rasulullah Saw dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim dinyatakan ; “barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah  SWT akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-nya selama ia (suka) menolong saudaranya.”[14]

B.     Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah yang diambil untuk mendasar skripsi ini  adalah berdasar pada filsafat kemaslahatan menurut imam al-Gazali bahwa dalam rangka menjaga lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan memelihara harta.[15] Maslahah terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
1.      Maslahah al-Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia. Kemaslahatan disini dalam rangka memelihara: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
2.      Maslahah al-Hajiyyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan untuk  menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi.
3.      Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.[16]

C.    Landasan Teoritis
 “Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung“[17], bahwa membicarakan pelayanan berarti membicarakan suatu proses kegiatan yang konotasinya lebih kepada hal yang abstrak (intangible). Pelayanan adalah merupakan suatu proses, proses tersebut menghasilkan suatu produk yang berupa pelayanan, yang kemudian diberikan kepada pelanggan.

D.    Konsep Dasar
1.      Pelayanan Jasa
a.      Pengertian
Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan.  Bahwa proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang dinamakan pelayanan. Jadi dapat dikatakan pelayanan adalah kegiatan yang bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang lain.[18]
Moenir menyatakan, pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna.[19]
Dari definisi tersebut dapat dimaknai bahwa pelayanan adalah aktivitas yang dapat dirasakan melalui hubungan antara penerima dan pemberi pelayanan yang menggunakan peralatan berupa organisasi atau lembaga perusahaan.
Menurut wyckcof dan lovelock dalam bukunya yang dikutip dan diterjemahkan oleh fandy tjiptono[20], ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu respected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan buruk. Baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemempuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Masyarakat akan merasa puas apabila mereka mendapatkan suatu pelayanan yang berkualitas. Moenir mengemukakan pendapat mengenai konsep pelayanan yang efektif sebagai suatu pelayanan yang berkualitas adalah “layanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, mengikuti proses dan menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan lebih dahulu.”[21]
Jadi pelayanan yang berkualitas itu tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan. Dan yang menjadi prinsip- prinsip layanan yang berkualitas antara lain :
1)      Proses dan prosedur harus ditetapkan lebih awal.
2)      Proses dan prosedur itu harus diketahui oleh semua pihak yang terlibat.
3)      Disiplin bagi pelaksanaan untuk mentaati proses dan prosedur
4)      Perlu peninjauan proses dan prosedur oleh pimpinan, sewaktu- waktu dapat dirubah apabila perlu.
5)      Perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembang budaya organisasi untuk menciptakan kualitas layanan.
6)      Kualitas berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, selera konsumen.
7)      Setiap orang dalam organisasi merupakan partner dengan orang lainnya..[22]
Menurut parasuraman dkk ada beberapa kriteria yang menjadi dasar penilaian konsumen terhadap pelayanan yaitu :
1)      Bukti langsung (tangible), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
2)      Keandalan (reliability, yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
3)      Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membentu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4)      Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemempuan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko dan keragu- raguan.
5)      Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang unik, perhatian individu, memahami kebutuhan para pelanggan.[23]
Jasa merupakan setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.[24] Sedangkan menurut Kotler mendefisikan jasa sebagai setiap tindakan atau kegiatan yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain, pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Jadi dapat disimpulkan bahwa jasa bukanlah barang, tetapi suatu aktifitas yang tidak dapat dirasakan secara fisik dan membutuhkan interaksi antara satu pihak ke pihak lain.[25]
Produk yang ditawarkan dalam bisnis jasa tidak berupa barang, seperti pada perbankan syariah. Dalam bisnis jasa konsumen tidak membeli fisik dari produk tetapi manfaat dan nilai dari produk yang disebut “the offer”. Keunggulan produk jasa terletak pada kualitasnya, yang mencakup diantaranya adalah kemudahan.
Layanan konsumen pada pemasaran jasa lebih dilihat sebagai hasil dari kegiatan distribusi dan logistik, dimana pelayanan diberikan kepada konsumen untuk mencapai kepuasan. Layanan konsumen meliputi aktivitas untuk memberikan kegunaan waktu dan tempat termasuk pelayanan pratransaksi, saat transaksi, dan pasca transaksi. Kegiatan sebelum transaksi akan turut mempengaruhi kegiatan transaksi dan setelah transaksi karena itu kegiatan pendahuluannya harus sebaik mungkin sehingga konsumen memberikan respon yang positif dan menunjukkan kepuasan yang sangat baik.

b.      Dimensi Kualitas Pelayanan Jasa
Jasa menurut philip kotler adalah : “setiap tindakan atau perbedaan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tak berwujud fisik) dan menghasilkan kepemilikan sesuatu” [26] Ada empat karakteristik pokok pada jasa yang membedakannya dengan barang, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)      Tidak nyata (intangible), seseorang tidak dapat menilai hasil dari jasa sebelum menikmatinya sendiri, oleh karena itu untuk mengurangi ketidakpastian, para pelanggan memperhatikan tanda atau bukti kualitas jasa tersebut.
2)      Tidak tahan lama (perishable), bila suatu jasa tidak digunakan, jasa tersebut akan berlalu begitu saja, yang menjadi masalah adalah jika permintaan pelanggan tidak konstan atau berfluktuasi sehingga tidak sesuai dengan penawaran perusahaan.
3)      Diproduksi dan dikonsumsi secara serentak/ bersamaan (inseperable)., interaksi penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Efektivitas individu yang menyampaikan jasa merupakan unsur penting dalam menyampaikan jasa merupakan unsur penting dalam hubungan penyedia jasa dengan pelanggan. Kemampuan dan pengetahuan karyawan merupakan faktor penting dalam keberhasilan pemberian jasa.
4)      Banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis (variable), dewasa ini mulai berkembang suatu pandangan bahwa untuk dapat memasarkan jasa dengan baik kepada konsumen di luar perusahaan adalah dengan memenuhi kebutuhan internal perusahaan terlebih dahulu terutama untuk sumber daya manusia perusahaan. Seleksi dan pelatihan personil yang baik, standarisasi proses pelaksanaan jasa dan pemantauan keputusan pelanggan diperlukan untuk mengendalikan kualitas jasa.[27]

c.       Pelayanan Jasa Keuangan Syariah
Dalam undang-undang penyelenggaraan ibadah haji menyebutkan bahwa:
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur.[28]

Memahami ketentuan tersebut diatas DSN-MUI telah menetapkan fatwa nomor: 29/Dsn-MUI/VI/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah; fatwa ini merupakan jawaban terhadap permohonan industri keuangan (bank) yang ingin meningkatkan kualitas pelayanan yang berupa semakin ragamnya metode pembiayaan terhadap masyarakat.
Untuk mendukung pelayanan yang diberikan oleh LKS kepada nasabah dalam rangka membantu nasabah mendapatkan porsi haji sebagaimana dimaksudkan di atas. Untuk hal ini berlakulah ketentuan mengenai pembiayaan qard yaitu:
1)      Nasabah qord wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama;
2)      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah;
3)      LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu;
4)      Nasabah qard dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad; dan
5)      Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.[29]

2.      Akad Qord wal ijarah
Di Bank syariah mandiri terdapat produk pembiayaan yang diperuntukan untuk mempermudah menunaikan ibadah haji yaitu produk dana talangan haji. Produk dana talangan haji adalah pembiayaan dengan menggunakan akad qard wal ijarah yang diberikan kepada nasabah calon haji dalam rangka untuk mempermudah memperoleh nomor porsi haji.
Perjanjian atau kontrak dalam istilah hukum Islam   biasa disebut dengan “akad”, yang merupakan perikatan antara kedua belah pihak tentang sesuatu hal yang tidak melanggar syariat Islam   dan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak.
Definisi qord dalam bahasa arab berarti pinjaman.[30] secara tertimologi muamalah (ta’rif) adalah memiliki sesuatu yang harus dikembalikan dengan pengganti yang sama.[31] Bank Indonesia dalam kodifikasi produk perbankan syariah dijelaskan bahwa qord adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. [32]
Jadi al qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih kembali. Dengan kata lain al qard adalah pemberian pinjaman tanpa mengharapkan imbalan tertentu.[33] Merupakan kontrak antara bank syariah dengan nasabahnya untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek. Dalam hal ini, bank menyediakan fasilitas pinjaman dana kepada nasabah yang patut, dan nasabah hanya berkewajiban mengembalikan sejumlah pinjaman, sedangkan bank dilarang meminta imbalan apapun dari nasabah, kecuali nasabah memberikan dengan suka rela.
Landasan hukum qord sesuai dengan al-qur’an dan hadist. Firman Allah SWT , yaitu surat QS. Al Baqarah (2) ayat 245 :
مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضۡعَافٗا كَثِيرَةٗۚ وَٱللَّهُ يَقۡبِضُ وَيَبۡصُۜطُ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ ٢٤٥
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.[34]

Ketentuan al qord menurut fatwa DSN-MUI No. 19/DSNMUI/ IV/2001.[35] adapun rukun dari akad qord sebagai berikut:
a.       Peminjam (muqtaridh)
b.      Pemberi pinjaman (muqridh)
c.       Jumlah dana (qord)
d.      Ijab qabul (shigat)[36]
Sedangkan untuk pengertian al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa.[37] al-ijarah merupakan suatu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak dan lain-lain. [38] ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.[39]
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:[40]
a.       Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yanmg menyewa aset, dan mu’jir/ muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
b.      Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa): dan
c.       Shighah, yaitu: ijab dan qabul.
Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya adalah manfaat.[41]
Ketentuan ijarah menurut fatwa DSN-MUI NOMOR : 09/DSNMUI/IV/2000. Adapun rukun dan syarat ijarah antara lain:
a.       Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b.      Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa (pemilik aset), dan penyewa/ pengguna jasa.
c.       Obyek kontrak : manfaat barang dan sewa serta manfaat jasa dan upah.[42]
Sedangkan yang menjadi ketentuan obyek ijarah antara lain ;
a.       Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa;
b.      Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak;
c.       Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan);
d.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah;
e.       Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa;
f.       Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik;
g.      Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah;
h.      Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak; dan
i.        Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak;[43]

3.      Dana Talangan Haji
Dana talangan haji adalah pembiayaan dengan menggunakan akad qard wal ijarah yang diberikan kepada nasabah calon haji dalam rangka untuk mempermudah memperoleh nomor porsi haji.
Talangan adalah perantara dalam jual beli, sedangkan menalangi adalah memberi pinjaman uang untuk membayar sesuatu atau membelikan barang dengan membayar kemudian.[44], sedangkan menurut ensiklopedia ekonomi talangan sama dengan bail yaitu seseorang yang menerima harta milik orang lain dibawah suatu bailment contract, dan bertanggung jawab atas kontrak itu, untuk memelihara harta milik itu dan mengembalikannya dalam keadaan baik bilamana kontrak itu dilaksanakan.[45] Istilah talangan hampir sama dengan kafalah (perwalian) letak kesamaannya adalah sama-sama sebagai pemberi dana kepada nasabah yang diwakili oleh bank kepada lembaga yang ditunjuk nasabah.  
Berdasarkan Pasal 1 angka (12) UU No. 10 Tahun l998 tentang perbankan, dijelaskan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[46]
Penulis mengambil kesimpulan bahwa talangan adalah memberikan harta milik kepada orang lain (nasabah) sebagai alat untuk membayar sesuatu yang diperlukan nasabah karena kebutuhan yang sangat mendesak nasabah tidak dapat mencairkan dananya karena berbentuk deposito.
4.      Hukum Islam  
Istilah hukum Islam  berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam  ’. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan:
1)      Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat
2)      Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat
3)      Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu; dan
4)      Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan). Atau vonis.[47]
Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.[48]
Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa arab al-hukm yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata alhukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan.[49] dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam  .
Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai agama Allah SWT yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.[50]. Dengan pengertian yang sederhana, Islam   berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam  ’ tersebut muncul istilah hukum Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam   merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw . Untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum  Islam   dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
Dalam khazanah literatur Islam (arab), termasuk dalam al-quran dan sunnah, tidak dikenal istilah hukum Islam   dalam satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literatur arab, termasuk juga dalam al-quran dan sunnah. Dalam literatur Islam   ditemukan dua istilah yang digunakan untuk menyebut hukum Islam  , yaitu al-syari’ah al-Islam  iyah (indonesia: syariah Islam  ) dan al-fiqh al- Islam  i (indonesia: fikih Islam  ). Istilah hukum Islam   yang menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di indonesia berasal dari istilah barat. kata hukum Islam  yang sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih. Oleh karena itu, sering juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam  dan fikih Islam  untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah hukum Islam  dari kedua istilah tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Hukum Islam Akad Qord wal ijarah Dana Talangan Haji Dalam Upaya Mempermudah Pelayanan Jasa di BSM
Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam . Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam  untuk berinvestasi dalam usaha memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan -usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islam (haram).[51]
Pembiayaan talangan haji BSM merupakan pinjaman dana talangan dari bank kepada nasabah khusus untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh seat haji dan pada saat pelunasan BPIH. Sebagai wujud kepedulian BSM kepada masyarakat yang mempunyai ekonomi pas-pasan namun mempunyai keinginan untuk mendapatkan porsi Siskohat (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) yang akan digunakan sebagai daftar antri untuk menunaikan ibadah haji, BSM memberikan impian itu menjadi kenyataan Warga hanya perlu menyiapkan dana kurang lebih senilai Rp. Rp. 5.650.000 dengan  sudah dapat mempunyai porsi Siskohat didaftar antrian calon jamaah haji untuk tahun berikutnya.
Di Bank Mandiri Syariah terdapat produk pembiayaan yang diperuntukkan untuk mempermudah menunaikan ibadah haji yaitu produk dana talangan haji. Produk dana talangan haji adalah pembiayaan dengan menggunakan akad qord wal ijarah yang diberikan kepada nasabah calon haji dalam rangka untuk mempermudah memperoleh nomor porsi haji. Opini dari dewan pengurus syariah (DPS) mengenai dana talangan haji yaitu : “pada prinsipnya kewajiban ibadah haji hanya dibebankan kepada orang yang mampu, sehingga tidak diperkenankan berhaji dengan cara berhutang apabila tidak sanggup membayar, tetapi apabila ia mampu untuk melunasi hutangnya maka diperkenankan berhaji dengan cara berhutang”.[52]
Berbicara masalah produk dana talangan haji pada bank syariah yang disahkan oleh MUI sejak tahun 2001. Kita tidak akan terlepas dari status hukumnya, maka berikut analisis secara kualitatif berdasarkan perspektif Islam . Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam  yang kelima, yang mana salah satu syariat ini diwajibkan bagi orang-orang yang mampu, sesuai dengan bunyi QS.  Al-Imran (3) ayat 97:
فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.[53]

Ayat di atas menyatakan bahwa mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban manusia seluruhnya bukan hanya yang bertempat tinggal di sana atau khusus keturunan Ibrahim dan Ismail as. itu adalah kewajiban terhadap Allah SWT, yaitu bagi siapa yang telah akil baligh atau mukallaf dan yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana dari segi kemampuan fisik dan persiapan bekal untuk dirinya dan keluarga yang ditinggal dan selama perjalanan itu aman bagi dirinya.  Mereka yang melaksanakannya dengan tulus lagi sempurna adalah orang-orang yang beriman dan wajar mandapat ganjaran surga, sedang barang siapa tidak melaksanakan ibadah haji padahal dia mampu atau mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam, baik dari yang taat maupun yang ingkar.[54]
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia. Demikian semua manusia dipanggil kesana. Tetapi, Allah Maha Bijaksana. Segera setelah menjelaskan kewajiban itu atas semua manusia, Yang Maha Bijaksana itu mengecualikan sebagian mereka dengan firman-Nya: Bagi yang sanggup mengadakan perjalanan kesana. Ini berarti yang tidak sanggup Allah memaafkan mereka. Tuhan memaklumi keadaan mereka. Bagaimana dengan yang telah memenuhi syarat wajib melaksanakan haji, yakni yang sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan materi berupa biaya perjalanan dan selama perjalanan, serta biaya hidup untuk keluarga yang ditinggal, jalan menuju kesana dan kembali pun aman, tidak ada perang tidak juga wabah penyakit? Mereka pastilah berdosa. Meraka berdosa karena menolak panggilan Allah swt. itulah petunjuk oleh firmanNya: barang siapa kafir maka Allah Maha Kaya, tidak butuh kepada seluruh alam.[55]
Kufur artinya ialah menolak kebenaran dengan tidak ada alasan yang jitu, yang kebanyakan hanya karena nafsu belaka. Misalnya kita mengaku Islam , badan sehat harta cukup berlimpah, alat transportasi di zaman modern untuk ke Makkah pun sudah sangat mudah, tidak sesulit zaman dahulu lagi, namun tidak juga mau menunaikan ibadah haji. Orang ini adalah kufur, sekurang-kurangnya adalah kufur nikmat.[56]
Perintah agama itu dikerjakan menurut kesanggupan yang ada, maka diberilah syarat utama, yaitu kesanggupan orang yang bersangkutan sendiri, baik berkenaan dengan cukupnya perbelanjaan atau tidak sulit perjalanan karena sulitnya hubungan, atau badan dalam keadaaan sehat wal’afiat. Maka dengan ayat inilah datang perintah resmi kepada kita manusia muslim supaya naik haji ke Ka’bah rumah pertama itu, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup. Oleh sebab itu hendaklah kita kaum muslimin terus memasang niat, agar sekali seumur hidup hendaknya kita dapat naik haji.[57] Karena Islam  dibangun atas lima prinsip, seperti sabda Muhammad Saw . yang berbunyi:[58]
Ubaidillah bin Mu‟adz telah memberitahukan kepada kami, ayahku telah memberitahukan kepada kami, Ashim dan dia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar telah memberitahukan kepada kami, dari ayahnya (Muhammad bin Zaid) berkata, „Abdulllah (Ibnu Umar RadhiyAllahu Anhuma) berkata, „Rasulullah SAW . bersabda, “Islam  itu dibangun di atas lima perkara: (1). Syahadat, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah; dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. (2). Mendirikan shalat. (3). Menunaikan zakat. (4). Haji ke Baitullah. (5) Dan puasa Ramadhan. (H.R Muslim)[59]

Tentang kemampuan melaksanakan ibadah haji para ulama berbeda pendapat menafsirkannya. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istitā’ah ialah kemampuan berbekal dan kendaraan, disertai amannya dalam perjalanan. Sebagian lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan itu ialah sehat jasmani dan mampu berjalan. Sebagian lagi mengatakan sehat badannya, merasa aman dari gangguan musuh atau binatang buas, disertai kemampuan membekali diri dengan harta untuk membeli perbekalan dan ongkos perjalanan, serta dilunasinya semua hutang orang yang bersangkutan, diserahkan semua titipan dan mampu membekali nafkah orang-orang yang menjadi tanggungannya selama ia menunaikan ibadah haji. Dan kebanyakan ulama fiqih mengatakan bahwa ibadah haji adalah wajib fauriy (wajib dilaksanakan dengan segera). Dan sebagian lain mengatakan bahwa itu adalah wajib tarakhiy (kewajiban yang tidak segera).[60]
Kewajiban haji merupakan masalah agama yang harus diketahui oleh semua kaum muslimin, dan tidak ada alasan bagi seorang pun untuk tidak mengetahuinya. Para ulama sepakat bahwa kewajiban ini hanya sekali dan tidak terulang kecuali sebab lain, seperti nadzar.[61]
Surat Al-Imran ayat 97 di atas turun pada tahun kesembilan hijriah. Yaitu tahun yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Aamul Wufuud (tahun delegasi). Dan pada saat itulah syariat haji diwajibkan. Kewajiban manusia maksudnya untuk seluruh manusia. Namun orang kafir tidak diperintahkan untuk menunaikan haji kecuali setelah mereka masuk Islam. Adapun seorang muslim, maka diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh Allah SWT., yaitu sanggup menempuh perjalanan untuk sampai ke kota Mekkah. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kesanggupan dikarenakan kefakirannya, maka tidak ada kewajiban haji untuk dirinya. Sedangkan orang yang tidak sanggup dikarenakan kondisinya yang lemah, ada beberapa hukumnya. Jika kelemahannya itu sulit diharapkan kesembuhannya sedangkan ia memiliki kemampuan materi, maka harus diwakilkan kepada orang lain agar menunaikan ibadah haji untuknya.[62] Seperti sabda Nabi Muhamad Saw yang berbunyi:
Abdullah bin Yusuf telah memberitahukan kepada kami, Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman Ibnu Yasar dari Abdullah bin Abbas ra, dia berkata, “Al-Fadhl membonceng Rasulullah Saw , lalu datanglah wanita dari suku Khats’am dan Al Fadhl melihat kepadanya, lalu ia pun melihat kepada Al Fadhl. Maka Nabi Saw  memalingkan wajah Al Fadhl ke sisi yang lain. Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah Saw, sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan hamba-Nya menunaikan haji! Bapakku sudah sangat tua dan ia tidak mampu duduk di atas unta, apakah boleh aku menghajikannya (mewakilkannya)?‟ Beliau Saw  bersabda, „Ya”. Yang demikian terjadi pada haji wada’.”(H.R. Bukhari)[63]

Dari beberapa penjelasan di atas, kewajiban melaksanakan ibadah haji merupakan suatu ibadah yang harus dilaksanakan sekali dalam seumur hidup bagi umat muslim yang mampu. Bahkan umat Islam  yang mampu secara materi tetapi dia tidak mampu secara fisik, maka boleh diwakilkan oleh keluarganya. Maka dari itu, bagi yang merasa mampu secara jasmani dan rohani agar dapat segera melaksanakan ibadah haji tanpa menunda-nunda ibadah ini. Namun zaman sekarang ini, khususnya di Indonesia melaksanakan ibadah haji tidak dapat langsung berangkat setelah merasa siap jasmani dan rohani. Ini dikarenakan antrian porsi haji yang selalu bertambah setiap tahunnya, salah satu faktornya adalah mudahnya masyarakat untuk mendapatkan nomor porsi haji, misalnya menggunakan produk jasa bank syariah yakni dan talangan haji.
Kita dapat melihat lonjakan antrian porsi haji sejak adanya produk dana talangan haji di bank syariah yang menggunakan akad qord wal ijārah, padahal hampir setengah dari penduduk Indonesia terkategori hidup di bawah garis kemiskinan, dan tingkat income perkapita yang lebih rendah, serta kondisi perekonomian yang tidak lebih baik, ditambah ongkos biaya hajinya yang lebih mahal di banding negeri malaysia itu jelas memiliki tingkat kemampuan untuk menunaikan ibadah haji yang lebih rendah. Namun, karena jumlah penduduknya banyak, maka Indonesia mendapatkan kuota haji yang lebih besar, ketimbang Malaysia. Potensi inilah yang sebenarnya dilirik oleh lembaga keuangan syariah (LKS) sebagai potensi bisnis yang luar biasa. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kemudian mengajukan fatwa kepada DSN-MUI untuk mengeluarkan fatwa tentang dana talangan haji ini. Faktanya, setelah produk ini dijalankan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS), lonjakan calon jamaah haji pun meningkat luar biasa. Jadi, dalam kasus Indonesia, jelas sekali bahwa terjadinya antrian panjang jamaah haji disebabkan karena produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berupa dana talangan haji.[64]
Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk saling tolong menolong antar sesama yang sedang dalam kesulitan. Dana talangan haji ini digunakan untuk membantu dan mempermudah masyarakat dalam menunaikan ibadah haji meskipun belum mempunyai cukup uang untuk melaksanakan ibadah haji. Sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al- Baqarah (2) ayat 280 :
وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.[65]

Menurut istilah qord adalah harta yang diberikan oleh seseorang (Muqridh) kepada yang membutuhkan (Muqtaridh), yang kemudian si peminjam akan mengembalikannya setelah mampu.[66] Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafii, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan qord atas semua harta yang bisa dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang -barang dagangan, binatang dan sebagainya.[67]
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qord boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.[68] Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.[69]
Ada beberapa pandangan di kalangan ulama’ mengenai multi akad:
a.       Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qord dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan qord. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
b.      Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.[70]
c.       Nazih Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al- Islâmy menuliskan, ”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
d.      Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.
Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).
Maka dalam literature fiqh muamalah, para ulama mensyaratkan kebasahan akad qord dengan dua hal prinsip, sebagai berikut:
a.       Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan.
b.      Tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak boleh diterima oleh muqridh karena mengarah pada tambahan atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan.[71]
Dari pandangan ulama-ulama di atas, dapat diketahui bahwa multi akad pada dasarnya dibolehkan karena penggabungan akad pada masa sekarang merupakan sebuah keniscayaan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa penggabungan akad tersebut tidak menimbulkan riba.[72]
Opini dari Dewan Pengurus Syariah (DPS) mengenai dana talangan haji yaitu : “Pada prinsipnya kewajiban ibadah haji hanya dibebankan kepada orang yang mampu, sehingga tidak diperkenankan berhaji dengan cara berhutang apabila tidak sanggup membayar, tetapi apabila ia mampu untuk melunasi hutangnya maka diperkenankan berhaji dengan cara berhutang”.[73]
Perusahaan perbankan khususnya perbankan syariah setiap berhubungan dengan para nasabah atau calon nasabah haruslah memperhatikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akad. Adapun yang harus diperhatikan dalam memasarkan produk yang sesuai dengan syariat Islam  adalah:
1.      Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridho), jadi dalam memasarkan produknya tidak boleh ada unsur memaksa kepada nasabah atau calon nasabah.[74]
2.      Setiap berhubungan dengan para nasabah atau calon nasabah, harus menjelaskan tentang produk-produk yang ditawarkan secara detail tanpa menutup-nutupi hal sebenarnya. Allah SWT berfirman dalm QS. as-Syua’raa (26) ayat 181-183:
۞أَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُخۡسِرِينَ ١٨١  وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِ ١٨٢ وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ ١٨٣

Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.[75]

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : “Dari Ibnu Umar r.a dia berkata:seseorang bercerita kepada Nabi Muhammad Saw  bahwa dirinya ditipu dalam jual beli, kemudian Nabi bersabda: apabila kamu berjual-beli, maka katakanlah tidak ada unsur penipuan”. (Muttafaqun Alaih)
1.      Kejujuran komunikasi, aspek kejujuran komunikasi didasarkan pada data dan fakta. Dalam al-Qur’an kejujuran dapat diistilahkan dengan amanah, ghoir al-takdzib, shiddiq, dan al-haq. Dengan dasar-dasar etika seperti istilah-istilah tersebut, maka seseorang tidak akan berkomunikasi secara dusta.[76]
2.      Berbuat adil yaitu dengan cara tidak bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak pantas dari keseluruhan atau dari kemalangan orang. Keadilan tidak hanya terwujud ketika memperoleh keuntungan, namun dalam kondisi rugi pun keadilan tetap dituntut karena rugi bukan berarti kita harus menginjak-injak hak orang lain demi menutupi kerugian itu. Allah SWT berfirman dalam QS. an-Nissa (4) ayat 58:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[77]

3.      Cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan adalah cermin bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam , sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga.[78] Persoalan model dan bentuk pakaian, Islam  tidak pernah membatasinya. Syariat Islam  memberikan kesempatan berkreasi untuk merancang mode yang disukai sepanjang pakaian yang dipakai itu menutupi aurat, sopan dan tidak merangsang bagi yang melihatnya.[79]
4.      Kebersihan adalah dasar pokok dalam Islam , Islam  dan kebersihan tidak dapat dipisahkan. Kebersihan meliputi segala sesuatu baik uacapan maupun perbuatan atau lain sebagainya.[80]

BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hendaknya Bank Syariah Mandiri meningkatkan prestasi kinerja yang telah dicapai agar minat nasabah tetap lebih meningkat dan dapat bertahan dalam persaingan, terutama untuk aspek yang dinilai baik oleh nasabah, seperti kelengkapan brosur, kenyamanan kantor, lapangan parkir, pelatakan mesin ATM, Musholla, keadaan toilet yang bersih, dan lain-lain.
2.      Hendaknya lebih terbuka dalam menampung segala keluhan nasabah, kemudian meresponnya, sehingga meningkatkan pelayanan yang diberikan kepada nasabah.

B.     Rekomendasi
1.      Untuk ditingkatkan sosialisasi baik melalui media interpersonal (tokoh masyarakat, tokoh agama, dll), perguruan tinggi dan promosi melalui media elektronik maupun media cetak. Sosialisasi ini diharapkan agar masyarakat sebagai calon nasabah lebih memahami proses pendaptaran haji melalui akad qord wal ijarah di BSM.
2.      Mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai perbankan syariah yang diharapkan akan memberikan wawasan, keterampilan serta kualitas SDM yang dimiliki BSM
3.      Pemasaran yang gencar terhadap produk-produk yang dimiliki BSM . Khususnya produk dana talangan haji. Serta meningkatkan pelayanan kepada nasabah dengan cepat, nyaman, dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Pustaka
Abdurahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1982).
Ali, Atabik dan Mudlor, Ahmad Zuhdi Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 2003)
Ali, Muhammad Daud. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum. Indonesia, (Jakarta: Yayasan Risalah, 1985).
Antonio, Muhammad Syafi`i,  Bank Syariah Dari Teori Kepraktik.(Jakarta : Gema Insani Press, 2001).
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute, 2000).
Arbi, Armawati, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003).
Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008).
Bisri, Adib, dan Munawwir, Kamus Al Bisri Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999).
Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perhajian, (Jakarta: Depag RI, 1998).
Fachruddin, Fuad M. Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam , (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya).
HLM. A.S. Moenir, Manajemen pelayanan umum di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006).
Jujun S.Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1999).
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004).
Karim, Helmi, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
Kotler, Philip dkk, Manajemen Pemasaran, Analisa perencanaan, Implementasi dan control, (Jakarta, Prehalindo, 2002).
Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)..
Mas’adi,  Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontepstual. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada 2002).
Moenir, A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta:  Bumi Aksara, 1995).
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta, UPP AMP, 2005).
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah, (Yogyakarta; UII Press, 2009).
Nasrun, Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008).
Ridwan, Muhammad Manajemen BMT, (Yogyakarta: UII Press, 2004).
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 201).
Sugiyono, Metode Penilitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, cet. Ke-10, 2010).
Susanto, Burhanudin, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta, UII Press,  2008);
Syafei, Rachmat , Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm.124
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001).
Tjiptono, Fandy, Manajemen Jasa, (Yogyakarta; Andi 2000).
Kitab / Tafsir
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al Usul, (Beirut: Dar-al-Fikr, t.t.).
Al Asqalani, Ibnu Hajar, Al Imam Al hafizh, Penerjemah: Amiruddin, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004).
Al Maraghi, Ahmad Mustafa Penerjemah: Bahrun Abu bakar, Hery Noer Aly, Tafsir Al- Maraghi juz 4, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993).
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Mesir: al-Asyrah, 2006).
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,  (Surabaya: Duta Ilmu, 2009).
Hadis Riwayat Muslim Dari Abu Hurairah
Hamka, Tafsir Al Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjamis, 2008).
Hasan, Husain Hamid, Nadzirriyah al Mashalahah fi al fiqh al Islam, (Kairo: dar Al Nahdhah al- Arabiyah).
Imam An- Nawawi, Penerjemah: Agus Ma’mun, dkk., Syarah Shahih Muslim jilid 1, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2010.
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah: Ali Nur, Syarah Riyadus Shalihin jilid 3, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009).
Munawir, A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka. Progressif, 1997)
Muslim, Abi Al-Husayn, Sahih Muslim, (Bairut: Darul Fikr, 1988).
Syaltout, Mahmud, Islam Aqidah Wa Syari'ah, (Darul Qalam, Mesir, 1966).
Taimiyah, Ibnu, Ilmu al-Hadis, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1989).
Wahbah Zuhaili (ed.),Fiqih Muamalah Perbankan Syariah, (Jakarta, PT.Bank Muamalat Indonesia, Juni, 1999).
Zahrah, Muhammad Abu & Ibn Taymiyyah, Hayatuhu wa Ashruhu wa Ara’uhu wa fiwhuhu, (Mesir, Dar al-fikr al-Arabiy,tt).
Jurnal / Tesis
Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, dalam Konsentrasi Hukum Islam  Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.
Mubarok, Jaih dan Hasanudin, “Dinamika fatwa produk keuangan syariah, dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam   dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni 2013: 1-14.
Purwadi, Muhammad Imam “Al-Qard Dan Al-Qordul Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perbankan Syariah”, dalam Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 1 Vol. 21 Januari 2014:24-42.
Tjiptono, Fandi, “Kualitas Jasa: Pengukuran, Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan Indonesia. Jakarta,
On line
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/21/dana-talangan-haji-haram-dan-mudharat/
Undang-Undang / Peratutan Pemerintah
DSN-MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI, (Jakarta: Gaung Persada, 2006).
Fatwa Dewan Syariah Nasioanl Nomor: 29/DSN-MUI/III/2002 Tentang pembiayan pengurusan haji oleh Lembaga Keuangan Syariah.
Fatwa Dewan Syariah Nasioanl Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji 
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 10 Tahun l998 Tentang. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Pasal 1 angka (12)

[1] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta, UPP AMP, 2005); hlm.  13.
[2] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004); hlm.  25.
[3]Burhanudin Susanto, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta, UII Press,  2008); hlm.  76.
[4] Jujun S.Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1999); hlm. 237.
[5] Fatwa Dewan Syariah Nasioanl Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
[6] Husain Hamid Hasan, Nadzirriyah al Mashalahah fi al fiqh al Islam, (Kairo: dar Al Nahdhah al- Arabiyah), hlm. 3-4.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah, Hayatuhu wa Ashruhu wa Ara’uhu wa fiwhuhu, (Mesir, Dar al-fikr al-Arabiy,tt); hlm. 495.
[8] Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, dalam Konsentrasi Hukum Islam  Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hlm. 28.
[9] Fatwa DSN-MUI No 29/DSN-MUI/III/2002 Tentang pembiayan pengurusan haji oleh Lembaga Keuangan Syariah.
[10] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm. 788.
[11] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm.  12.
[12] Ibid; hlm.  708.
[13] Ibid;  hlm.  60.
[14] Hadis Riwayat Muslim Dari Abu Hurairah
[15] Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al Usul, (Beirut: Dar-al-Fikr, t.t.); hlm. 286.
[16] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Mesir: al-Asyrah, 2006); hlm. 8
[17] HLM. A.S. Moenir, Manajemen pelayanan umum di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006); hlm.  16-17
[18] Moenir, A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002); hlm.  16.
[19] Ibid; hlm: 26-27
[20] Fandy Tjiptono, Manajemen Jasa, (Yogyakarta; Andi 2000): hlm.  60
[21] Moenir, A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995); hlm. 204.
[22] Moenir, A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta:  Bumi Aksara, 1995); hlm. 205.
[23] Fandi Tjiptono, “Kualitas Jasa: Pengukuran, Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan Indonesia. Jakarta, hlm.  70.
[24] Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Pasal 1 angka 5 tentang Perlindugnan Konsumen
[25] Philip Kotler, dkk, Manajemen Pemasaran, Analisa perencanaan, Implementasi dan control, (Jakarta, Prehalindo, 2002); hlm. 486.
[26] Fandi Tjiptono, “Kualitas Jasa: Pengukuran, Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan Indonesia. Jakarta, hlm. 6.
[27] Fandi Tjiptono, “Kualitas Jasa: Pengukuran, Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan Indonesia. Jakarta, hlm. :15
[28] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 5
[29] Jaih Mubarok dan Hasanudin, “Dinamika fatwa produk keuangan syariah, dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam   dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni 2013: 1-14,  hlm.  5
[30] Adib Bisri, dan Munawwir, Kamus Al Bisri Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999); hlm.  592
[31] Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah, (Yogyakarta; UII Press, 2009); hlm.  137
[32] Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008); hlm. 14.
[33] Muhammad Ridwan, Manajemen BMT, (Yogyakarta: UII Press, 2004); hlm.  174
[34] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm.  51.
[35] DSN-MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI, (Jakarta: Gaung Persada, 2006); hlm.  109.
[36] Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2009); hlm. 140.
[37] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 2003);  hlm.  29.
[38] Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007);  hlm.  228-229
[39] Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008);  hlm. 12.
[40] Ibid, hlm. 173
[41] Karim Adiwarman, Bank Islam   Analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta:; Raja Grafindo Persada, 2006);  hlm.  137
[42] DSN-MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI, (Jakarta: Gaung Persada,2006); hlm.  59-61.
[43] Jaih Mubarok dan Hasanudin, “Dinamika fatwa produk keuangan syariah, dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam   dan Kemanusiaan”, Volume 13, No. 1, Juni 2013: 1-14, hlm.  4-5
[44] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008); hlm. . 995
[45] Abdurahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1982); hlm.  75-76.
[46] UU No. 10 Tahun l998 Tentang. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Pasal 1 angka (12)
[47] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008); hlm. : 410
[48] Muhammad Daud Ali,. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum. Indonesia, (Jakarta: Yayasan Risalah, 1985); hlm. 38.
[49]A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka. Progressif, 1997); hlm.286.
[50] Mahmud Syaltout, Islam Aqidah Wa Syari'ah, (Darul Qalam, Mesir, 1966); hlm. 9.
[51] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001);  hlm.  17-18.
[52] Departemen Agama RI, Al-qur’an & terjemahanya; (Solo:Qomari prima publisher.2007); hlm 59
[53] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm.  79
[54] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 201); hlm.  196
[55] Ibid., hlm.  197
[56] Hamka, Tafsir Al Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjamis, 2008); hlm.  25
[57] Ibid., hlm.  24
[58] Abi Al- Husayn Muslim, Sahih Muslim, (Bairut: Darul Fikr, 1988); hlm.  32
[59] Imam An- Nawawi, Penerjemah: Agus Ma’mun, dkk., Syarah Shahih Muslim jilid 1, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2010); hlm.  415-416
[60] Ahmad Mustafa Al Maraghi, Penerjemah: Bahrun Abu bakar, Hery Noer Aly, Tafsir Al- Maraghi juz 4, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993); hlm.  15-17.
[61] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al hafizh, Penerjemah: Amiruddin, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004); hlm.  365-366.
[62] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah: Ali Nur, Syarah Riyadus Shalihin jilid 3, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009);  hlm. 1061
[63] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al hafizh, Penerjemah: Amiruddin, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004); hlm.  364-365
[64] http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/21/dana-talangan-haji-haram-dan-mudharat/ (diunduh tanggal 19 Agustus 2015)
[65] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm.  60.
[66] Wahbah Zuhaili (ed.),Fiqih Muamalah Perbankan Syariah, (Jakarta, PT.Bank Muamalat Indonesia, Juni, 1999);  hlm. 3.
[67] Ibid, hlm.17
[68] Muhammad Syafi`i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Kepraktik.(Jakarta : Gema Insani Press, 2001); hlm. 132-133
[69] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm.124
[70] Ibnu Taimiyah: Ilmu al-Hadis, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1989); hlm. 317.
[71] Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontepstual. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada 2002); hlm. 171.
[72] Lebih lanjut lihat di http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/26/dana-talangan-haji-problem-danrealita hukum-di-kalangan-masyarakat diakses pada tanggal 24 Oktober 2015 Pukul 23.15 WIB
[73] Brosur Produk Dana Talangan Haji BSM
[74] Adiwarman Karim, Bank Islam  Analisa Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004); hlm.  26
[75] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm.  526.
[76] Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. 1 .hlm.  251
[77] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm.  114.
[78] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute, 2000); hlm.  197
[79] Helmi Karim, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992); hlm.  143.
[80] Fuad M. Fachruddin, Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam , (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya); hlm.  68.

Posting Komentar

0 Komentar