TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP
AKAD QORD WAL IJARAH DANA TALANGAN HAJI DALAM
UPAYA MEMPERMUDAH PELAYANAN JASA
Kajian
dari berbagai Sumber
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Bank syariah
merupakan salah satu lembaga keuangan yang beroperasi dengan tidak mengandalkan
pada bunga, bank syariah atau yang sering disebut dengan Bank Tanpa Bunga
adalah lembaga keuangan yang operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan
landasan pada Al-Qur’an dan Hadits. Bank syariah juga dapat dikatakan sebagai
lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan pembiayaan dan jasa-jasa
lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[1]
Seiring dengan
perputaran waktu, perkembangan Bank Syari’ah mengalami booming pada tahun 1992.
Di Indonesia, Bank Syariah yang pertama kali didirikan pada tahun 1992 adalah
Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak melambat, tetapi
perbankan syariah di Indonesia terus berkembang. Pada era tahun 1992-1998 hanya
ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005 jumlah bank syariah di
Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17
unit usaha syariah.[2]
Perbankan Syariah
di Indonesia, bank syariah menggunakan sistem pengembangan yang dilakukan dalam
kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif
jasa perbankan yang semakin lengkap untuk masyarakat Indonesia. Secara
bersama-sama sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara
sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk
meningkatkan kemampuan pembiyaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Banyak lembaga
keuangan yang menawarkan berbagai macam produk dan fasilitas yang menarik.
Dalam hal ini perbankan syari’ah ikut bermunculan untuk memberikan layanan dan
fasilitas kepada masyarakat. Kedatangan perbankan syariah disambut dengan suka
cita oleh berbagai kalangan umat Islam, dukungan mereka diwujudkan dengan
berdirinya lembaga keuangan syari’ah baik bentuk bank maupun non bank.
Dana talangan
haji merupakan salah satu produk lembaga keungan syariah baik bank ataupun non
bank yang memberikan fasilitas pinjaman dana bagi nasabah yang hendak
menunaikan ibadah haji namun memiliki kekurangan dana untuk melunasi syarat
minimal setoran awal sebesar Rp 25.000.000.00,- untuk mendapatkan kuota haji.
Dasar hukum
produk talangan haji adalah dari fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor
29/DSN-MUI/VI/2002. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh
imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai
fatwa DSN –MUI Nomor 9/DSNMUI/2000. Sehingga apabila diperlukan LKS juga
membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan prinsip al-qard wal
ijarah sesuai dengan fatwa DSN-MUI Nomor
19/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSNMUI) mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya pengembangan produk
hukum perbankan syariah. Kedudukan Fatwa DSN-MUI menempati posisi yang
strategis bagi kemajuan ekonomi dan lembaga keuangan syariah. Karena dalam
perkembangan ekonomi dan perbankan syariah mengacu pada sistem hukum yang
dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya berfungsi sebagai
pedoman utama bagi mayoritas umat Islam pada khususnya dan umat-umat lain pada
umumnya.[3]
Saat ini
perkembangan bisnis layanan jasa haji sektor perbankan syariah semakin meningkat, baik yang dikelola oleh
pemerintah maupun swasta. Ini terlihat semakin banyaknya bank-bank yang syariah
yang membuka produk layanan jasa pendaftaran haji. Sebagai perusahaan yang
bergerak dalam bidang jasa seharusnya
mementingkan kualitas pelayanan yang di berikan kepada para
pelanggannya, agar proses lebih dipermudah.
Dengan layanan
Syariah, Bank Mandiri Syariah memiliki produk yang banyak diminati oleh
masyarakat salah satunya adalah produk dana talangan haji. Dana talangan haji
pada dasarnya dalam rangka mempermudah masyarakat untuk menunaikan ibadah haji.
Produk ini menggunakan akad qord
wal ijarah yang bekerjasama dengan Kementrian Agama RI
berdasarkan Sistem Komputerisasi Terpadu (Siskohat), yaitu suatu sistem yang
dirancang untuk alat kontrol, penampungan data dan pengolahan data dalam
pelaksanaan penyelenggaraan haji.
Berdasarkan
keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
No.29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga
Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
1. Dalam
pengurusan haji bagi nasabah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat memperoleh
imbalan jasa (ujroh) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai
Fatwa DSN-MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000.
2. Besar imbalan
jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qord yang diberikan Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
kepada nasabah.
3. Apabila
diperlukan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat membantu menalangi pembayaran
BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-qord
sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
Dengan demikian
penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam memerlukan adanya layanan lembaga keuangan
berbasis syariah. Masyarakat muslim mengharapkan adanya lembaga yang dapat
membantu menyalurkan Ibadah haji sebagai salah satu kewajiban orang Islam (rukun Islam
yang lima) sekaligus dapat memberikan keringanan
dana ibadah haji. Seperti kehadiran produk dana talangan haji dari perbankan
syariah menjadi salah satu alternatif bagi muslim yang telah mampu pada saat
yang telah ditentukan. Menurut syari’at kalau didudukkan perkaranya, maka
Talangan haji adalah upaya untuk membuat seseorang memiliki kemampuan untuk
berhaji. Jika sesorang secara finansial memiliki kepastian untuk membayar
talangan dimasa yang akan datang, misalnya karena gaji yang cukup, atau
penghasilan lain yang stabil, dan sudah barang tentu masuk dalam perhitungan
perbankan syariah pemberi talangan, maka baginya dapat dikategorikan sebagai
mampu untuk berhaji. Tetapi jika ia tidak memilki kepastian melunasinya dan
tentu bank tidak akan memberikan talangan pada nasabah yang demikian itu, ia
belum dikategorikan sebagai mampu berhaji.
Pada masyarakat yang demokratis dan berpegang pada prinsip hukum,
telah mencerminkan
rasa keadilan masyarakat karena hukum tersebut bersifat aspiratif, sehingga
hukum yang ditegakkan mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana
yang telah diaspirasikan oleh masyarakat. Pada negara-negara yang sedang dalam masa
transisi menuju demokrasi dan menuju ke negara yang menganut prinsip hukum yang
berlaku sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Karena hukum-hukum
tersebut belum aspiratif (belum sepenuhnya dapat menyuarakan dan mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat), bahkan sering dituding sebagai suatu
hukum yang mencerminkan kehendak dan kepentingan penguasa yang tidak jarang
mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasan dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat
postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Sehingga penelitian
ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan system pemikiran para ahli hukum sendiri.
Jelas kiranya bahwa seorang ilmuan
mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan karena ia adalah
warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat,
melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
masyarakat.[4]
Berdasarkan Fatwa DSN Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan
Haji Lembaga Keuangan Syariah,
tidak secara tegas memberikan defenisi mengenai pembiayaan dana talangan haji.
Hanya menyatakan bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi
kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan pelunasan biaya
perjalanan iIbadah haji, dan bahwa lembaga keuangan syariah perlu merespon
kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai
dengan prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa
tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh LKS untuk dijadikan pedoman.[5]
Tujuan dari
hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka
teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kemaslahatan. Secara sederhana maslahat (al-maslahah)
diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara
leksikal, menuntut ilmu itu mengandung kemaslahatan,
maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat
secara lahir dan bathin.[6]
Al Ghazali menformasikan teori kemaslahatan
dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudharatan untuk memelihara
tujuan syara’. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa setiap kegiatan manusia harus bermanfaat bagi umat manusia, namun
demikian tidak boleh bertentangan dengan tujuan dari syariat Islam .
Berdasarkan pendapat Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh Syekh
Abu Zahrah,[7] mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah
pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas
dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’.
Berdasarkan tingkatan maslahat, maka dana talangan haji itu masuk
kedalam maslahat hajiyat, yaitu persolan-persoalan yang dibutuhkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kerusakan yang dihadapi. Maslahat ini berkaitan dengan keinginan
keinginan dalam hukum Islam, seperti boleh berbuka puasa bagi orang
sakit dan musafir, boleh mengqashar shalat dalam perjalanan. Bila
keringanan itu tidak diberikan akan melahirkan kesulitan walaupun tidak
mengakibatkan kerusakan atau kegoncangan dalam hidup.[8]
Karena ada unsur keringanan disini, artinya naik haji diwajibkan bagi
orang-orang yang sanggup, dan kata sanggup dalam Islam ada tiga
unsur, yaitu: sanggup dengan sendirinya, sanggup dengan dibayari oleh orang lain
dan sanggup dengan cara berhutang atau dengan dana talangan haji. Keringanan
yang diberikan dalam maslahat hajiyat disini bisa diartikan bahwa
adanya bantuan dari bank syariah untuk menalangi dana calon jemaah haji
yang ingin berangkat haji dengan segera, namun dananya belum mencukupi
untuk mendapati nomor porsi haji, lalu bank syariah memberi keringanan
dengan memberikan pinjaman kepada calon jemaah haji itu dengan
persyaratan-persyaratan tertentu.
DSN dan
Majlis Ulama Indonesia pada tanggal 15 Rabi'ul Akhir 1423 H atau bertepatan dengan tanggal 26 juni 2002 M, menetapkan fatwa DSN-MUI No 29/DSN-MUI/III/2002
tentang pembiayaan pengurusan haji LKS. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa
ketentuan pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah adalah sebagai
berikut:[9]
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan
jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai fatwa DSN-MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu
menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip Al-qord sesuai
dengan Fatwa DSNMUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh
dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS
kepada nasabah.
B. Asumsi
1. Ibadah haji merupakan rukun yang kelima
dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi
kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah
dijanjikan untuk orang orang yang bertaqwa.
2. Hukum Islam adalah
segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan
yang bersifat mengikat, yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan
sanksi yang tegas dan nyata, yaitu segala sesuatu yang menjadi pedoman atau
yang menjadi sumber syariat Islam yaitu Al-qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW ).
3. Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama
dari semua ajaran dan syariat Islam .
4. Hadist adalah ucapan Rasulullah Saw tentang suatu yang berkaitan
dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal, atau disebut pula sunnah qauliyyah.
Hadist merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah.
5. Fatwa adalah pendapat para ulama untuk
menentukan suatu hukum yang tidak jelas pembahasannya di dalam Al-Qur’an dan
hadits, sehingga para ulama berijtihad untuk menentukan suatu hukum itu boleh
atau tidak.
6. Akad qord
wa ijarah adalah pemberian pinjaman dari bank untuk
nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang
jaminan yang diberikan oleh nasabah.
7. Pembiayaan secara luas berarti financing
atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan
oleh orang lain.
8. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
9. Dana talangan haji adalah dana pinjaman (al-qord)
kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh porsi haji pada
saat pelunasan BPIH, kemudian nasabah berkewajiban mengembalikan dana pinjaman
itu dalam jangka waktu tertentu. Sebagai jasanya, Bank Syariah memperoleh
imbalan (ujrah) yang besarnya tidak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan
dan tidak boleh dipersyaratkan dalam pemberian dana talangan.
10. Mempermudah pelayanan Jasa, maslahat hajiyat, yaitu
persolan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan
dan kerusakan yang dihadapi.
BAB II
KAJIAN TEORITIS TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP
AKAD QORD WAL IJARAH DANA TALANGAN HAJI
DALAM
UPAYA MEMPERMUDAH PELAYANAN JASA
A.
Landasan Teologis
1.
Landasan Teologis tentang Akad Qord wal ijarah
Landasan
teologis tentang akad qord wal ijarah mengacu pada Al Qur’an surat al-Hadid (57) ayat 11 yang berbunyi :
مَّن
ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ
أَجۡرٞ كَرِيمٞ
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak.[10]
Selain itu
dalam al-Qur’an QS. Al-Maidah (5) ayat 2 dijelaskan pula bahwa Allah SWT memberikan karunia yaitu keuntungan yang
diberikan Allah dalam perniagaan. Keredhaan dari Allah SWT ialah: pahala amalan
haji.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تُحِلُّواْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ وَلَا ٱلۡهَدۡيَ
وَلَا ٱلۡقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا
مِّن رَّبِّهِمۡ وَرِضۡوَٰنٗاۚ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ
شَنََٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواْۘ
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ
وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.[11]
2.
Landasan Teologis tentang Pelayanan Jasa
Landasan teologis tentang pelayanan jasa
mengacu pada Al Qur’an surat Az-Zukhruf (43) ayat 32 yang
berbunyi :
أَهُمۡ
يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ
بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami
telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.[12]
Kemudian didalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 280 :
وَإِن
كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ
إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Dan jika (orang
yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.[13]
Dalam hadist Rasulullah Saw dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim dinyatakan ; “barang siapa melepaskan
dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah SWT akan melepaskan kesulitan darinya pada
hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-nya selama ia (suka) menolong
saudaranya.”[14]
B.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah yang diambil untuk mendasar skripsi ini adalah berdasar pada filsafat kemaslahatan menurut imam al-Gazali bahwa dalam rangka menjaga lima hal, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan memelihara harta.[15]
Maslahah terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Maslahah al-Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia. Kemaslahatan disini dalam rangka memelihara: agama, jiwa,
akal, harta, dan keturunan.
2. Maslahah al-Hajiyyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi.
3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan agar manusia
dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.[16]
C.
Landasan Teoritis
“Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui
aktivitas orang lain yang langsung“[17],
bahwa membicarakan pelayanan berarti membicarakan suatu proses kegiatan yang
konotasinya lebih kepada hal yang abstrak (intangible). Pelayanan adalah
merupakan suatu proses, proses tersebut menghasilkan suatu produk yang berupa
pelayanan, yang kemudian diberikan kepada pelanggan.
D.
Konsep Dasar
1.
Pelayanan Jasa
a.
Pengertian
Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan,
karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan,
meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan
dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan
pemberi pelayanan. Bahwa proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang
dinamakan pelayanan. Jadi dapat dikatakan pelayanan adalah kegiatan yang
bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang
lain.[18]
Moenir menyatakan, pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat
pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani,
tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna.[19]
Dari definisi tersebut dapat dimaknai bahwa pelayanan adalah
aktivitas yang dapat dirasakan melalui hubungan antara penerima dan pemberi
pelayanan yang menggunakan peralatan berupa organisasi atau lembaga perusahaan.
Menurut wyckcof dan lovelock dalam bukunya yang dikutip dan
diterjemahkan oleh fandy tjiptono[20], ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu respected
service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan
(perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa
dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih
rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan buruk.
Baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemempuan penyedia jasa dalam
memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Masyarakat akan merasa puas apabila mereka mendapatkan suatu
pelayanan yang berkualitas. Moenir mengemukakan pendapat mengenai konsep
pelayanan yang efektif sebagai suatu pelayanan yang berkualitas adalah “layanan
yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, mengikuti proses dan
menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, mengikuti proses dan prosedur yang
telah ditetapkan lebih dahulu.”[21]
Jadi pelayanan yang berkualitas itu tidak hanya ditentukan oleh
pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan. Dan yang menjadi
prinsip- prinsip layanan yang berkualitas antara lain :
1) Proses dan prosedur harus ditetapkan lebih awal.
2) Proses dan prosedur itu harus diketahui oleh semua pihak yang
terlibat.
3) Disiplin bagi pelaksanaan untuk mentaati proses dan prosedur
4) Perlu peninjauan proses dan prosedur oleh pimpinan, sewaktu- waktu
dapat dirubah apabila perlu.
5) Perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembang budaya
organisasi untuk menciptakan kualitas layanan.
6) Kualitas berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, selera konsumen.
Menurut parasuraman dkk ada beberapa
kriteria yang menjadi dasar penilaian konsumen terhadap pelayanan yaitu :
1)
Bukti langsung (tangible),
meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
2)
Keandalan (reliability,
yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan
memuaskan.
3)
Daya tanggap (responsiveness),
yaitu keinginan para staf untuk membentu para pelanggan dan memberikan
pelayanan dengan tanggap.
4)
Jaminan (assurance),
mencakup pengetahuan, kemempuan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para
staf bebas dari bahaya, resiko dan keragu- raguan.
5)
Empati,
meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang unik, perhatian
individu, memahami kebutuhan para pelanggan.[23]
Jasa merupakan setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.[24]
Sedangkan menurut Kotler mendefisikan jasa sebagai setiap tindakan atau
kegiatan yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain, pada dasarnya bersifat intangible
(tidak berwujud fisik) dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Jadi dapat
disimpulkan bahwa jasa bukanlah barang, tetapi suatu aktifitas yang tidak dapat
dirasakan secara fisik dan membutuhkan interaksi antara satu pihak ke pihak
lain.[25]
Produk yang ditawarkan dalam bisnis jasa tidak berupa barang,
seperti pada perbankan syariah. Dalam bisnis jasa konsumen tidak membeli fisik
dari produk tetapi manfaat dan nilai dari produk yang disebut “the offer”.
Keunggulan produk jasa terletak pada kualitasnya, yang mencakup diantaranya
adalah kemudahan.
Layanan konsumen pada pemasaran jasa
lebih dilihat sebagai hasil dari kegiatan distribusi dan logistik, dimana
pelayanan diberikan kepada konsumen untuk mencapai kepuasan. Layanan konsumen
meliputi aktivitas untuk memberikan kegunaan waktu dan tempat termasuk
pelayanan pratransaksi, saat transaksi, dan pasca transaksi. Kegiatan sebelum
transaksi akan turut mempengaruhi kegiatan transaksi dan setelah transaksi
karena itu kegiatan pendahuluannya harus sebaik mungkin sehingga konsumen
memberikan respon yang positif dan menunjukkan kepuasan yang sangat baik.
b.
Dimensi Kualitas Pelayanan Jasa
Jasa menurut philip kotler adalah : “setiap
tindakan atau perbedaan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak
lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tak berwujud fisik) dan
menghasilkan kepemilikan sesuatu” [26] Ada
empat karakteristik pokok pada jasa yang membedakannya dengan barang, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1)
Tidak nyata (intangible),
seseorang tidak dapat menilai hasil dari jasa sebelum menikmatinya sendiri,
oleh karena itu untuk mengurangi ketidakpastian, para pelanggan memperhatikan tanda
atau bukti kualitas jasa tersebut.
2)
Tidak tahan
lama (perishable), bila suatu jasa tidak digunakan, jasa tersebut akan
berlalu begitu saja, yang menjadi masalah adalah jika permintaan pelanggan
tidak konstan atau berfluktuasi sehingga tidak sesuai dengan penawaran
perusahaan.
3)
Diproduksi dan
dikonsumsi secara serentak/ bersamaan (inseperable)., interaksi penyedia
jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Efektivitas
individu yang menyampaikan jasa merupakan unsur penting dalam menyampaikan jasa
merupakan unsur penting dalam hubungan penyedia jasa dengan pelanggan.
Kemampuan dan pengetahuan karyawan merupakan faktor penting dalam keberhasilan
pemberian jasa.
4)
Banyak variasi
bentuk, kualitas dan jenis (variable), dewasa ini mulai berkembang suatu
pandangan bahwa untuk dapat memasarkan jasa dengan baik kepada konsumen di luar
perusahaan adalah dengan memenuhi kebutuhan internal perusahaan terlebih dahulu
terutama untuk sumber daya manusia perusahaan. Seleksi dan pelatihan personil
yang baik, standarisasi proses pelaksanaan jasa dan pemantauan keputusan
pelanggan diperlukan untuk mengendalikan kualitas jasa.[27]
c.
Pelayanan Jasa Keuangan Syariah
Dalam
undang-undang penyelenggaraan ibadah haji menyebutkan bahwa:
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen
penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan
aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jamaah haji
dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur.[28]
Memahami ketentuan tersebut diatas DSN-MUI telah menetapkan fatwa
nomor: 29/Dsn-MUI/VI/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan
syariah; fatwa ini merupakan jawaban terhadap permohonan industri keuangan
(bank) yang ingin meningkatkan kualitas pelayanan yang berupa semakin ragamnya
metode pembiayaan terhadap masyarakat.
Untuk mendukung
pelayanan yang diberikan oleh LKS kepada nasabah dalam rangka membantu nasabah
mendapatkan porsi haji sebagaimana dimaksudkan di atas. Untuk hal ini
berlakulah ketentuan mengenai pembiayaan qard yaitu:
1)
Nasabah qord
wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati
bersama;
2)
Biaya
administrasi dibebankan kepada nasabah;
3)
LKS dapat
meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu;
4)
Nasabah qard dapat memberikan tambahan
(sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad; dan
5)
Jika nasabah
tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang
telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat
memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau menghapus (write off) sebagian
atau seluruh kewajibannya.[29]
2.
Akad Qord wal ijarah
Di Bank syariah mandiri terdapat produk pembiayaan yang diperuntukan untuk
mempermudah menunaikan ibadah haji yaitu produk dana talangan haji. Produk dana talangan haji adalah pembiayaan dengan
menggunakan akad qard wal ijarah yang diberikan kepada nasabah calon haji dalam rangka untuk
mempermudah memperoleh nomor porsi haji.
Perjanjian atau kontrak dalam istilah hukum Islam biasa
disebut dengan “akad”, yang merupakan
perikatan antara kedua belah pihak tentang sesuatu hal yang tidak melanggar
syariat Islam dan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para
pihak.
Definisi qord dalam bahasa arab berarti pinjaman.[30]
secara tertimologi muamalah (ta’rif)
adalah memiliki sesuatu yang harus dikembalikan dengan pengganti yang sama.[31]
Bank
Indonesia dalam kodifikasi produk
perbankan syariah dijelaskan bahwa qord
adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu. [32]
Jadi al qard adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih kembali. Dengan kata lain al qard adalah pemberian
pinjaman tanpa mengharapkan imbalan tertentu.[33]
Merupakan kontrak antara bank syariah dengan nasabahnya untuk memfasilitasi nasabah
yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek.
Dalam hal ini, bank menyediakan fasilitas pinjaman dana kepada nasabah yang
patut, dan nasabah hanya berkewajiban mengembalikan sejumlah pinjaman,
sedangkan bank dilarang meminta imbalan apapun dari nasabah, kecuali nasabah
memberikan dengan suka rela.
Landasan hukum qord sesuai dengan al-qur’an
dan hadist. Firman Allah SWT , yaitu surat QS. Al Baqarah (2) ayat 245 :
مَّن
ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضۡعَافٗا
كَثِيرَةٗۚ وَٱللَّهُ يَقۡبِضُ وَيَبۡصُۜطُ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ ٢٤٥
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.[34]
Ketentuan al qord menurut
fatwa DSN-MUI No. 19/DSNMUI/ IV/2001.[35]
adapun rukun dari akad qord sebagai
berikut:
a. Peminjam (muqtaridh)
b. Pemberi pinjaman (muqridh)
c. Jumlah dana (qord)
d. Ijab qabul (shigat)[36]
Sedangkan untuk pengertian al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah,
sewa.[37] al-ijarah
merupakan suatu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak
dan lain-lain. [38] ijarah adalah transaksi
sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk
kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan
atas objek sewa yang disewakan.[39]
Rukun dari
akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:[40]
a. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yanmg menyewa
aset, dan mu’jir/ muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan
aset.
b. Objek akad,
yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa): dan
c. Shighah, yaitu: ijab dan qabul.
Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat
(hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya
prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaanya terletak
pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada
ijarah objek transaksinya adalah manfaat.[41]
Ketentuan ijarah menurut fatwa DSN-MUI NOMOR :
09/DSNMUI/IV/2000. Adapun rukun dan syarat ijarah antara lain:
a. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah
pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b. Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa (pemilik aset), dan penyewa/
pengguna jasa.
c. Obyek kontrak : manfaat barang dan sewa
serta manfaat jasa dan upah.[42]
Sedangkan
yang menjadi ketentuan obyek ijarah antara lain ;
a. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau
jasa;
b. Manfaat barang atau jasa harus bisa
dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak;
c. Manfaat barang atau jasa harus yang
bersifat dibolehkan (tidak diharamkan);
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata
dan sesuai dengan syari’ah;
e. Manfaat harus dikenali secara spesifik
sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa;
f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan
dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi
atau identifikasi fisik;
g. Sewa atau upah adalah sesuatu yang
dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu
yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah
dalam ijarah;
h. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk
jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak; dan
i.
Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat dan jarak;[43]
3.
Dana Talangan Haji
Dana talangan
haji adalah pembiayaan dengan menggunakan akad
qard wal ijarah yang diberikan kepada
nasabah calon haji dalam rangka untuk mempermudah memperoleh nomor porsi haji.
Talangan adalah
perantara dalam jual beli, sedangkan menalangi adalah memberi pinjaman uang
untuk membayar sesuatu atau membelikan barang dengan membayar kemudian.[44],
sedangkan menurut ensiklopedia ekonomi talangan sama dengan bail yaitu
seseorang yang menerima harta milik orang lain dibawah suatu bailment contract,
dan bertanggung jawab atas kontrak itu, untuk memelihara harta milik itu dan
mengembalikannya dalam keadaan baik bilamana kontrak itu dilaksanakan.[45] Istilah
talangan hampir sama dengan kafalah (perwalian) letak kesamaannya adalah
sama-sama sebagai pemberi dana kepada nasabah yang diwakili oleh bank kepada
lembaga yang ditunjuk nasabah.
Berdasarkan
Pasal 1 angka (12) UU No. 10 Tahun l998 tentang perbankan, dijelaskan bahwa
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[46]
Penulis
mengambil kesimpulan bahwa talangan adalah memberikan harta milik kepada orang
lain (nasabah) sebagai alat untuk membayar sesuatu yang diperlukan nasabah
karena kebutuhan yang sangat mendesak nasabah tidak dapat mencairkan dananya
karena berbentuk deposito.
4.
Hukum Islam
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan
‘Islam ’. Dalam kamus besar bahasa
indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan:
1)
Peraturan atau
adat yang secara resmi dianggap mengikat
2)
Undang-undang,
peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat
3)
Patokan
(kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu; dan
4)
Keputusan
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan). Atau vonis.[47]
Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan
atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.[48]
Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa arab al-hukm yang
merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang
berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg
kata alhukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan.[49]
dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti
hukum modern (hukum barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan
hukum Islam .
Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan
sebagai agama Allah SWT yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk
mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua
manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.[50].
Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. Lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan
hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam ’ tersebut muncul istilah hukum Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum
Islam ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan
yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw . Untuk mengatur tingkah
laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat,
hukum Islam dapat
diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
Dalam khazanah literatur Islam
(arab), termasuk dalam al-quran dan sunnah, tidak dikenal istilah hukum Islam dalam
satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara terpisah dapat ditemukan
penggunaannya dalam literatur arab, termasuk juga dalam al-quran dan sunnah. Dalam
literatur Islam ditemukan dua istilah yang digunakan untuk
menyebut hukum Islam , yaitu al-syari’ah
al-Islam iyah (indonesia: syariah Islam
) dan al-fiqh al- Islam i (indonesia: fikih Islam ). Istilah hukum Islam yang
menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di indonesia berasal dari
istilah barat. kata hukum Islam yang sering ditemukan pada literatur hukum
yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan fikih, bahkan
terkadang juga mencakup ushul fikih. Oleh karena itu, sering
juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam dan fikih Islam untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah
hukum Islam dari kedua istilah tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Hukum Islam Akad Qord wal ijarah Dana Talangan Haji Dalam Upaya Mempermudah
Pelayanan Jasa di BSM
Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan hukum Islam . Dimana usaha ini didasari
oleh larangan Islam untuk berinvestasi
dalam usaha memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan
larangan -usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islam
(haram).[51]
Pembiayaan talangan haji BSM merupakan pinjaman dana talangan dari bank
kepada nasabah khusus untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh seat haji
dan pada saat pelunasan BPIH. Sebagai wujud kepedulian BSM kepada masyarakat
yang mempunyai ekonomi pas-pasan namun mempunyai keinginan untuk mendapatkan
porsi Siskohat (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) yang akan digunakan sebagai
daftar antri untuk menunaikan ibadah haji, BSM memberikan impian itu menjadi
kenyataan Warga hanya perlu menyiapkan dana kurang lebih senilai Rp. Rp. 5.650.000 dengan sudah dapat mempunyai porsi Siskohat didaftar
antrian calon jamaah haji untuk tahun berikutnya.
Di Bank Mandiri Syariah terdapat produk pembiayaan yang
diperuntukkan untuk mempermudah menunaikan ibadah haji yaitu produk dana
talangan haji. Produk dana talangan haji adalah pembiayaan dengan menggunakan akad qord
wal ijarah yang diberikan kepada
nasabah calon haji dalam rangka untuk mempermudah memperoleh nomor porsi haji.
Opini dari dewan pengurus syariah (DPS) mengenai dana talangan haji yaitu :
“pada prinsipnya kewajiban ibadah haji hanya dibebankan kepada orang yang
mampu, sehingga tidak diperkenankan berhaji dengan cara berhutang apabila tidak
sanggup membayar, tetapi apabila ia mampu untuk melunasi hutangnya maka
diperkenankan berhaji dengan cara berhutang”.[52]
Berbicara
masalah produk dana talangan haji pada bank syariah yang disahkan oleh MUI
sejak tahun 2001. Kita tidak akan terlepas dari status hukumnya, maka berikut
analisis secara kualitatif berdasarkan perspektif Islam . Ibadah haji merupakan
salah satu rukun Islam yang kelima, yang
mana salah satu syariat ini diwajibkan bagi orang-orang yang mampu, sesuai
dengan bunyi QS. Al-Imran (3) ayat
97:
فِيهِ
ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
Padanya terdapat tanda-tanda
yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah
itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.[53]
Ayat di
atas menyatakan bahwa mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban
manusia seluruhnya bukan hanya yang bertempat tinggal di sana atau khusus
keturunan Ibrahim dan Ismail as. itu
adalah kewajiban terhadap Allah SWT, yaitu
bagi siapa yang telah akil baligh atau mukallaf dan yang sanggup mengadakan
perjalanan ke sana dari segi kemampuan fisik dan persiapan bekal untuk dirinya
dan keluarga yang ditinggal dan selama perjalanan itu aman bagi dirinya. Mereka yang melaksanakannya dengan tulus lagi sempurna
adalah orang-orang yang beriman dan wajar mandapat ganjaran surga, sedang
barang siapa tidak melaksanakan ibadah haji padahal dia mampu atau mengingkari
kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu dari
semesta alam, baik dari yang taat maupun yang ingkar.[54]
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia. Demikian semua
manusia dipanggil kesana. Tetapi, Allah Maha Bijaksana. Segera setelah
menjelaskan kewajiban itu atas semua manusia, Yang Maha Bijaksana itu
mengecualikan sebagian mereka dengan firman-Nya: Bagi yang sanggup
mengadakan perjalanan kesana. Ini berarti yang tidak sanggup Allah memaafkan
mereka. Tuhan memaklumi keadaan mereka. Bagaimana dengan yang telah memenuhi
syarat wajib melaksanakan haji, yakni yang sehat jasmani dan rohani, memiliki
kemampuan materi berupa biaya perjalanan dan selama perjalanan, serta biaya
hidup untuk keluarga yang ditinggal, jalan menuju kesana dan kembali pun aman, tidak ada perang tidak juga wabah penyakit?
Mereka pastilah berdosa. Meraka berdosa karena menolak panggilan Allah swt.
itulah petunjuk oleh firmanNya: barang siapa kafir maka Allah Maha Kaya, tidak butuh kepada
seluruh alam.[55]
Kufur
artinya ialah menolak kebenaran dengan tidak ada alasan yang jitu, yang
kebanyakan hanya karena nafsu belaka. Misalnya kita mengaku Islam , badan sehat
harta cukup berlimpah, alat transportasi di zaman modern untuk ke Makkah pun
sudah sangat mudah, tidak sesulit zaman dahulu lagi, namun tidak juga mau
menunaikan ibadah haji. Orang ini adalah kufur, sekurang-kurangnya adalah kufur
nikmat.[56]
Perintah agama itu dikerjakan menurut kesanggupan yang
ada, maka diberilah syarat utama, yaitu kesanggupan orang yang bersangkutan
sendiri, baik berkenaan dengan cukupnya perbelanjaan atau tidak sulit
perjalanan karena sulitnya hubungan, atau badan dalam keadaaan sehat wal’afiat.
Maka dengan ayat inilah datang perintah resmi
kepada kita manusia muslim supaya naik haji ke Ka’bah rumah pertama itu,
sekurang-kurangnya sekali seumur hidup. Oleh sebab itu hendaklah kita kaum
muslimin terus memasang niat, agar sekali seumur hidup hendaknya kita dapat
naik haji.[57]
Karena Islam dibangun atas lima prinsip,
seperti sabda Muhammad Saw . yang berbunyi:[58]
Ubaidillah bin Mu‟adz telah
memberitahukan kepada kami, ayahku telah memberitahukan kepada kami, Ashim dan
dia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar telah memberitahukan
kepada kami, dari ayahnya (Muhammad bin Zaid) berkata, „Abdulllah (Ibnu Umar
RadhiyAllahu Anhuma) berkata, „Rasulullah SAW . bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: (1). Syahadat, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Allah; dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
(2). Mendirikan shalat. (3). Menunaikan zakat. (4). Haji ke
Baitullah. (5) Dan puasa Ramadhan. (H.R Muslim)[59]
Tentang
kemampuan melaksanakan ibadah haji para ulama berbeda pendapat menafsirkannya.
Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istitā’ah ialah
kemampuan berbekal dan kendaraan, disertai amannya dalam perjalanan. Sebagian
lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan itu ialah sehat jasmani dan mampu
berjalan. Sebagian lagi mengatakan sehat badannya, merasa aman dari gangguan
musuh atau binatang buas, disertai kemampuan membekali diri dengan harta untuk
membeli perbekalan dan ongkos perjalanan, serta dilunasinya semua hutang orang
yang bersangkutan, diserahkan semua titipan dan mampu membekali nafkah
orang-orang yang menjadi tanggungannya selama ia menunaikan ibadah haji. Dan
kebanyakan ulama fiqih mengatakan bahwa ibadah haji adalah wajib fauriy (wajib
dilaksanakan dengan segera). Dan sebagian lain mengatakan bahwa itu adalah
wajib tarakhiy (kewajiban yang tidak segera).[60]
Kewajiban haji merupakan masalah agama yang harus
diketahui oleh semua kaum muslimin, dan tidak ada alasan bagi seorang pun untuk
tidak mengetahuinya. Para ulama sepakat bahwa kewajiban ini hanya
sekali dan tidak terulang kecuali sebab lain, seperti nadzar.[61]
Surat
Al-Imran ayat 97 di atas turun pada tahun kesembilan hijriah. Yaitu tahun yang
lebih dikenal dengan sebutan ‘Aamul Wufuud (tahun delegasi). Dan pada
saat itulah syariat haji diwajibkan. Kewajiban manusia maksudnya untuk seluruh
manusia. Namun orang kafir tidak diperintahkan untuk menunaikan haji kecuali
setelah mereka masuk Islam. Adapun seorang muslim, maka diperintahkan untuk
menunaikan ibadah haji berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh Allah SWT.,
yaitu sanggup menempuh perjalanan untuk sampai ke kota Mekkah. Oleh karena
itu, seseorang yang memiliki kesanggupan dikarenakan kefakirannya, maka tidak
ada kewajiban haji untuk dirinya. Sedangkan orang yang tidak sanggup
dikarenakan kondisinya yang lemah, ada beberapa hukumnya. Jika kelemahannya itu
sulit diharapkan kesembuhannya sedangkan ia memiliki kemampuan materi, maka
harus diwakilkan kepada orang lain agar menunaikan ibadah haji untuknya.[62]
Seperti sabda Nabi Muhamad Saw yang berbunyi:
Abdullah bin Yusuf telah
memberitahukan kepada kami, Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman Ibnu Yasar
dari Abdullah bin Abbas ra, dia berkata, “Al-Fadhl membonceng Rasulullah Saw ,
lalu datanglah wanita dari suku Khats’am dan Al Fadhl melihat kepadanya, lalu
ia pun melihat kepada Al Fadhl. Maka Nabi Saw memalingkan wajah Al Fadhl ke sisi yang lain.
Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah Saw, sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan hamba-Nya
menunaikan haji! Bapakku sudah sangat tua dan ia tidak mampu duduk di atas
unta, apakah boleh aku menghajikannya (mewakilkannya)?‟ Beliau Saw bersabda, „Ya”. Yang demikian terjadi pada
haji wada’.”(H.R. Bukhari)[63]
Dari beberapa penjelasan di atas, kewajiban melaksanakan
ibadah haji merupakan suatu ibadah yang harus dilaksanakan sekali dalam seumur
hidup bagi umat muslim yang mampu. Bahkan umat Islam yang mampu secara materi tetapi dia tidak
mampu secara fisik, maka boleh diwakilkan oleh keluarganya. Maka dari itu, bagi
yang merasa mampu secara jasmani dan rohani agar dapat segera melaksanakan
ibadah haji tanpa menunda-nunda ibadah ini. Namun zaman sekarang ini, khususnya
di Indonesia melaksanakan ibadah haji tidak dapat langsung berangkat setelah
merasa siap jasmani dan rohani. Ini dikarenakan antrian porsi haji yang selalu
bertambah setiap tahunnya, salah satu faktornya adalah mudahnya masyarakat
untuk mendapatkan nomor porsi haji, misalnya menggunakan produk jasa bank
syariah yakni dan talangan haji.
Kita dapat melihat lonjakan antrian porsi haji sejak
adanya produk dana talangan haji di bank syariah yang menggunakan akad qord wal ijārah, padahal
hampir setengah dari penduduk Indonesia terkategori hidup di bawah garis kemiskinan,
dan tingkat income perkapita yang lebih rendah, serta kondisi
perekonomian yang tidak lebih baik, ditambah ongkos biaya hajinya yang lebih
mahal di banding negeri malaysia itu jelas memiliki tingkat kemampuan untuk
menunaikan ibadah haji yang lebih rendah. Namun,
karena jumlah penduduknya banyak, maka Indonesia mendapatkan kuota haji yang
lebih besar, ketimbang Malaysia. Potensi inilah yang sebenarnya dilirik oleh
lembaga keuangan syariah (LKS) sebagai potensi bisnis yang luar biasa. Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) kemudian mengajukan fatwa kepada DSN-MUI untuk mengeluarkan fatwa
tentang dana talangan haji ini. Faktanya, setelah produk ini dijalankan oleh
Lembaga Keuangan Syariah (LKS), lonjakan calon jamaah haji pun meningkat luar
biasa. Jadi, dalam kasus Indonesia, jelas sekali bahwa terjadinya antrian
panjang jamaah haji disebabkan karena produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
yang berupa dana talangan haji.[64]
Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk saling
tolong menolong antar sesama yang sedang dalam kesulitan. Dana talangan
haji ini digunakan untuk membantu dan mempermudah masyarakat dalam menunaikan
ibadah haji meskipun belum mempunyai cukup uang untuk melaksanakan
ibadah haji. Sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al- Baqarah (2) ayat 280
:
وَإِن
كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ
إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.[65]
Menurut istilah qord adalah harta
yang diberikan oleh seseorang (Muqridh) kepada yang membutuhkan (Muqtaridh),
yang kemudian si peminjam akan mengembalikannya setelah mampu.[66] Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafii, dan Hambali berpendapat,
diperbolehkan melakukan qord atas
semua harta yang bisa dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar atau
ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,
seperti barang -barang dagangan, binatang dan sebagainya.[67]
Para ulama telah
menyepakati bahwa al-qord boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan.
Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan
didunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
umatnya.[68]
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.[69]
Ada beberapa pandangan di kalangan ulama’ mengenai multi akad:
a. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah
sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan
bahwa hukum asal dari akad adalah
boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang
mengharamkan atau membatalkannya kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan
qord dengan akad yang lain,
karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan qord. Demikian
pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
b.
Menurut Ibn
Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang
diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah,
dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.[70]
c.
Nazih Hammad
dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al- Islâmy menuliskan,
”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi hybrid
contract , selama setiap akad
yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada
dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak
diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan
menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas
kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang
telah disepakati.
d. Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal
dari akad dan syarat adalah sah,
kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.
Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak
melakukan penafsiran hukum. Sedangkan
hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny).
Dalam hal ibadah tidak bisa
dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan
perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan
melaksanakan (ta’abbud).
Maka dalam literature
fiqh muamalah, para ulama mensyaratkan kebasahan akad qord dengan dua hal prinsip, sebagai berikut:
a.
Tidak
mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka
para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan
dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan.
b. Tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli dan
lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak
boleh diterima oleh muqridh karena mengarah pada tambahan atas pengunduran.
Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan.[71]
Dari pandangan ulama-ulama di atas, dapat diketahui bahwa multi akad pada dasarnya dibolehkan karena penggabungan akad pada masa sekarang
merupakan sebuah keniscayaan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa
penggabungan akad tersebut tidak
menimbulkan riba.[72]
Opini dari Dewan Pengurus Syariah (DPS) mengenai dana talangan
haji yaitu : “Pada prinsipnya kewajiban ibadah haji hanya dibebankan
kepada orang yang mampu, sehingga tidak diperkenankan berhaji dengan
cara berhutang apabila tidak sanggup membayar, tetapi apabila ia mampu
untuk melunasi hutangnya maka diperkenankan berhaji dengan cara
berhutang”.[73]
Perusahaan perbankan khususnya perbankan syariah
setiap berhubungan dengan para nasabah atau calon nasabah haruslah
memperhatikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akad. Adapun yang harus diperhatikan
dalam memasarkan produk yang sesuai dengan syariat Islam adalah:
1.
Setiap transaksi dalam Islam
harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama
ridho), jadi dalam memasarkan produknya tidak boleh ada unsur memaksa kepada
nasabah atau calon nasabah.[74]
2.
Setiap berhubungan
dengan para nasabah atau calon nasabah, harus menjelaskan tentang produk-produk
yang ditawarkan secara detail tanpa menutup-nutupi hal sebenarnya. Allah SWT
berfirman dalm QS. as-Syua’raa
(26) ayat 181-183:
۞أَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُخۡسِرِينَ
١٨١ وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِ
١٨٢ وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ
مُفۡسِدِينَ ١٨٣
Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus, Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.[75]
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : “Dari Ibnu Umar r.a dia berkata: “seseorang bercerita kepada Nabi Muhammad Saw bahwa dirinya ditipu dalam jual beli, kemudian
Nabi bersabda: apabila kamu berjual-beli, maka katakanlah tidak ada unsur
penipuan”. (Muttafaqun Alaih)
1.
Kejujuran komunikasi,
aspek kejujuran komunikasi didasarkan pada data dan fakta. Dalam al-Qur’an
kejujuran dapat diistilahkan dengan amanah, ghoir al-takdzib, shiddiq, dan
al-haq. Dengan dasar-dasar etika seperti istilah-istilah tersebut, maka
seseorang tidak akan berkomunikasi secara dusta.[76]
2.
Berbuat adil yaitu
dengan cara tidak bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang
tidak pantas dari keseluruhan atau dari kemalangan orang. Keadilan tidak hanya
terwujud ketika memperoleh keuntungan, namun dalam kondisi rugi pun keadilan
tetap dituntut karena rugi bukan berarti kita harus menginjak-injak hak orang
lain demi menutupi kerugian itu. Allah SWT berfirman dalam QS. an-Nissa (4)
ayat 58:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ
إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا
Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[77]
3. Cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan adalah cermin bahwa
mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam ,
sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian
pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga.[78] Persoalan
model dan bentuk pakaian, Islam tidak
pernah membatasinya. Syariat Islam memberikan kesempatan berkreasi untuk
merancang mode yang disukai sepanjang pakaian yang dipakai itu menutupi aurat,
sopan dan tidak merangsang bagi yang melihatnya.[79]
4. Kebersihan adalah dasar pokok dalam Islam , Islam dan kebersihan tidak dapat dipisahkan.
Kebersihan meliputi segala sesuatu baik uacapan maupun perbuatan atau lain
sebagainya.[80]
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Hendaknya Bank Syariah Mandiri meningkatkan prestasi kinerja yang telah
dicapai agar minat nasabah tetap lebih meningkat dan dapat bertahan dalam
persaingan, terutama untuk aspek yang dinilai baik oleh nasabah, seperti
kelengkapan brosur, kenyamanan kantor, lapangan parkir, pelatakan mesin ATM,
Musholla, keadaan toilet yang bersih, dan lain-lain.
2. Hendaknya lebih terbuka dalam menampung segala keluhan nasabah, kemudian
meresponnya, sehingga meningkatkan pelayanan yang diberikan kepada nasabah.
B.
Rekomendasi
1. Untuk ditingkatkan sosialisasi baik melalui media interpersonal (tokoh
masyarakat, tokoh agama, dll), perguruan tinggi dan promosi melalui media
elektronik maupun media cetak. Sosialisasi ini diharapkan agar masyarakat
sebagai calon nasabah lebih memahami proses pendaptaran haji melalui akad qord
wal ijarah di BSM.
2. Mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai perbankan syariah yang diharapkan
akan memberikan wawasan, keterampilan serta kualitas SDM yang dimiliki BSM
3. Pemasaran yang gencar terhadap produk-produk yang dimiliki BSM . Khususnya produk dana
talangan haji. Serta meningkatkan pelayanan kepada nasabah dengan cepat,
nyaman, dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Pustaka
Abdurahman,
Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta, Pradnya
Paramita, 1982).
Ali,
Atabik dan Mudlor, Ahmad Zuhdi Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 2003)
Ali,
Muhammad Daud. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum. Indonesia, (Jakarta: Yayasan Risalah, 1985).
Antonio, Muhammad Syafi`i, Bank Syariah Dari Teori Kepraktik.(Jakarta
: Gema Insani Press, 2001).
Antonio, Muhammad
Syafi’I, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute,
2000).
Arbi, Armawati, Dakwah
dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003).
Bank Indonesia, Kodifikasi
Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008).
Bisri,
Adib, dan Munawwir, Kamus Al Bisri Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1999).
Departemen Agama RI, Bunga Rampai
Perhajian, (Jakarta: Depag RI, 1998).
Fachruddin, Fuad M. Aurat
dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam , (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya).
HLM.
A.S. Moenir, Manajemen pelayanan umum di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006).
Jujun S.Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1999).
Karim,
Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004).
Karim, Helmi, Fiqih
Muamalat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
Kotler,
Philip dkk, Manajemen Pemasaran, Analisa perencanaan, Implementasi dan
control, (Jakarta, Prehalindo, 2002).
Margono,
S., Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)..
Mas’adi, Ghufron A. Fiqh
Muamalah Kontepstual. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada 2002).
Moenir,
A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995).
Muhammad,
Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta, UPP AMP, 2005).
Muhammad,
Model-model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah,
(Yogyakarta; UII Press, 2009).
Nasrun, Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008).
Ridwan, Muhammad Manajemen BMT, (Yogyakarta: UII Press, 2004).
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 201).
Sugiyono,
Metode Penilitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, cet. Ke-10, 2010).
Susanto,
Burhanudin, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta, UII
Press, 2008);
Syafei, Rachmat , Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001), hlm.124
Tim
Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah:
Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Penerbit Djambatan,
2001).
Tjiptono,
Fandy, Manajemen Jasa,
(Yogyakarta; Andi 2000).
Kitab / Tafsir
Abu Hamid Muhammad Ibn
Muhammad al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al Usul, (Beirut: Dar-al-Fikr,
t.t.).
Al Asqalani, Ibnu Hajar, Al Imam Al hafizh, Penerjemah: Amiruddin, Fathul
Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004).
Al Maraghi, Ahmad Mustafa Penerjemah: Bahrun Abu bakar,
Hery Noer Aly, Tafsir Al- Maraghi juz 4, (Semarang: CV. Toha Putra,
1993).
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat
fi Usul al-Syari’ah, (Mesir: al-Asyrah, 2006).
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009).
Hadis
Riwayat Muslim Dari Abu Hurairah
Hamka, Tafsir Al Azhar Juz IV, (Jakarta:
Pustaka Panjamis, 2008).
Hasan, Husain Hamid, Nadzirriyah al Mashalahah fi al
fiqh al Islam, (Kairo: dar Al Nahdhah al- Arabiyah).
Imam An- Nawawi, Penerjemah: Agus Ma’mun,
dkk., Syarah Shahih Muslim jilid 1, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press,
2010.
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
Penerjemah: Ali Nur, Syarah Riyadus Shalihin jilid 3, (Jakarta Timur:
Darus Sunnah Press, 2009).
Munawir,
A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka.
Progressif, 1997)
Muslim, Abi Al-Husayn, Sahih Muslim, (Bairut: Darul Fikr, 1988).
Syaltout,
Mahmud, Islam Aqidah Wa Syari'ah, (Darul Qalam, Mesir, 1966).
Taimiyah, Ibnu,
Ilmu
al-Hadis, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, 1989).
Wahbah Zuhaili (ed.),Fiqih
Muamalah Perbankan Syariah, (Jakarta, PT.Bank Muamalat Indonesia, Juni,
1999).
Zahrah,
Muhammad Abu & Ibn Taymiyyah, Hayatuhu wa Ashruhu wa Ara’uhu wa fiwhuhu,
(Mesir, Dar al-fikr al-Arabiy,tt).
Jurnal / Tesis
Hasballah Thaib, Tajdid, “Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam”, dalam Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Medan, 2002.
Mubarok,
Jaih dan Hasanudin, “Dinamika fatwa produk keuangan syariah, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni
2013: 1-14.
Purwadi,
Muhammad Imam “Al-Qard Dan Al-Qordul
Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perbankan Syariah”, dalam
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 1 Vol. 21 Januari 2014:24-42.
Tjiptono,
Fandi, “Kualitas Jasa: Pengukuran,
Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan
Indonesia. Jakarta,
On line
http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/26/dana-talangan-haji-problem-danrealita
hukum-di-kalangan-masyarakat
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/21/dana-talangan-haji-haram-dan-mudharat/
Undang-Undang / Peratutan Pemerintah
DSN-MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI,
(Jakarta: Gaung Persada, 2006).
Fatwa Dewan Syariah Nasioanl Nomor:
29/DSN-MUI/III/2002 Tentang pembiayan pengurusan haji oleh Lembaga
Keuangan Syariah.
Fatwa Dewan
Syariah Nasioanl Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang
No. 10 Tahun l998 Tentang. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan Pasal 1 angka (12)
[1] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta, UPP AMP, 2005); hlm. 13.
[2] Adiwarman A.
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo,
2004); hlm. 25.
[3]Burhanudin
Susanto, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta, UII
Press, 2008); hlm. 76.
[4] Jujun S.Suryasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1999); hlm. 237.
[5] Fatwa Dewan Syariah Nasioanl Nomor:
29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
[6] Husain Hamid Hasan, Nadzirriyah al
Mashalahah fi al fiqh al Islam, (Kairo: dar Al Nahdhah al- Arabiyah), hlm.
3-4.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah, Hayatuhu
wa Ashruhu wa Ara’uhu wa fiwhuhu, (Mesir, Dar al-fikr al-Arabiy,tt); hlm. 495.
[8] Hasballah Thaib, Tajdid, “Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam”, dalam Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Medan, 2002, hlm. 28.
[9] Fatwa DSN-MUI No 29/DSN-MUI/III/2002 Tentang pembiayan pengurusan haji oleh
Lembaga Keuangan Syariah.
[12] Ibid;
hlm. 708.
[13] Ibid; hlm.
60.
[14] Hadis Riwayat
Muslim Dari Abu Hurairah
[15] Abu Hamid Muhammad Ibn
Muhammad al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al Usul, (Beirut: Dar-al-Fikr,
t.t.); hlm. 286.
[17] HLM. A.S.
Moenir, Manajemen pelayanan umum di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006); hlm. 16-17
[19] Ibid; hlm:
26-27
[23] Fandi
Tjiptono, “Kualitas Jasa: Pengukuran,
Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan
Indonesia. Jakarta, hlm. 70.
[24] Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 Pasal 1 angka 5 tentang Perlindugnan Konsumen
[25] Philip Kotler,
dkk, Manajemen Pemasaran, Analisa perencanaan, Implementasi dan control,
(Jakarta, Prehalindo, 2002); hlm. 486.
[26] Fandi
Tjiptono, “Kualitas Jasa: Pengukuran,
Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”, dalam Majalah Manajemen Usahawan
Indonesia. Jakarta, hlm. 6.
[27] Fandi Tjiptono, “Kualitas Jasa: Pengukuran, Keterbatasan dan Implikasi. Manajerial”,
dalam Majalah Manajemen Usahawan Indonesia. Jakarta, hlm. :15
[29] Jaih Mubarok
dan Hasanudin, “Dinamika fatwa produk keuangan syariah, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni
2013: 1-14, hlm. 5
[30] Adib Bisri,
dan Munawwir, Kamus Al Bisri Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999); hlm. 592
[32]
Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank
Indonesia, 2008); hlm. 14.
[36] Muhammad, Model-model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII
Press, 2009); hlm. 140.
[37] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 2003); hlm. 29.
[39] Bank Indonesia, Kodifikasi
Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008);
hlm. 12.
[40] Ibid,
hlm. 173
[41] Karim
Adiwarman, Bank Islam Analisis fiqih
dan keuangan, (Jakarta:; Raja Grafindo Persada, 2006); hlm.
137
[42] DSN-MUI,
Himpunan Fatwa DSN-MUI, (Jakarta: Gaung Persada,2006); hlm. 59-61.
[43] Jaih Mubarok
dan Hasanudin, “Dinamika fatwa produk keuangan syariah, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan”, Volume 13, No. 1, Juni
2013: 1-14, hlm. 4-5
[44] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008); hlm. . 995
[45] Abdurahman, Ensiklopedia
Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1982);
hlm. 75-76.
[46] UU No. 10
Tahun l998 Tentang. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan Pasal 1 angka (12)
[47] Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta; Pusat
Bahasa, 2008); hlm. : 410
[48] Muhammad Daud
Ali,. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum. Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Risalah, 1985); hlm. 38.
[49]A.W. Munawir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka. Progressif,
1997); hlm.286.
[50] Mahmud
Syaltout, Islam Aqidah Wa Syari'ah, (Darul Qalam, Mesir, 1966); hlm. 9.
[51] Tim
Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah:
Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Penerbit Djambatan,
2001); hlm. 17-18.
[59] Imam An- Nawawi, Penerjemah: Agus Ma’mun, dkk., Syarah
Shahih Muslim jilid 1, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2010); hlm.
415-416
[60] Ahmad Mustafa Al Maraghi, Penerjemah: Bahrun Abu
bakar, Hery Noer Aly, Tafsir Al- Maraghi juz 4, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1993); hlm.
15-17.
[61] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al hafizh, Penerjemah:
Amiruddin, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004); hlm. 365-366.
[62] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah: Ali Nur, Syarah
Riyadus Shalihin jilid 3, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009); hlm. 1061
[63] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al hafizh, Penerjemah:
Amiruddin, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004); hlm.
364-365
[64] http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/21/dana-talangan-haji-haram-dan-mudharat/
(diunduh
tanggal 19 Agustus 2015)
[66] Wahbah Zuhaili (ed.),Fiqih
Muamalah Perbankan Syariah, (Jakarta, PT.Bank Muamalat Indonesia, Juni,
1999); hlm. 3.
[67] Ibid, hlm.17
[68] Muhammad Syafi`i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Kepraktik.(Jakarta
: Gema Insani Press, 2001); hlm. 132-133
[71] Ghufron A.
Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontepstual. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
2002); hlm. 171.
[72]
Lebih lanjut lihat di http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/26/dana-talangan-haji-problem-danrealita
hukum-di-kalangan-masyarakat diakses pada tanggal 24 Oktober 2015 Pukul 23.15
WIB
[74] Adiwarman Karim, Bank
Islam Analisa Fiqih dan Keuangan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004); hlm. 26
[78] Muhammad Syafi’I
Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute,
2000); hlm. 197
[80] Fuad M. Fachruddin, Aurat
dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam , (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya);
hlm. 68.
0 Komentar