IDENTITAS BUKU
Judul Buku :
Pendidikan
Islam: Membentuk Manusia Berkarakter Dan
Beradab
Penulis :
Dr. Adian Husaini
Perwajahan Isi & Penata Letak :
Masrukhin
Desain Sampul &
Illustrasi :
Abdullah
Diterbitkan oleh :
Program
Studi Pendidikan Islam,
Program
Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun
Bekerjasama dengan :
Cakrawala
Publishing
Jl. Palem Raya No. 57
Jakarta 12260 Telp. (021) 7060 2394, 585 3238 Fax. (021) 586 1326 website :
http://www.penerbitcakrawala.com e-mail : info@penerbitcakrawala.com cakrawala _publish@yahoo.com
Anggota
IKAPI
Cetakan Pertama : Jumadil Tsaniyah 1431 H /
Juni 2010 M
Tebal : 212 Halaman
BAB
I
PENDAHULUAN
Buku berjudul Pendidikan
Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab ini ditulis oleh Dr
Adian Husaini, Diterbitkan oleh : Program Studi Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana Universitas
Ibn Khaldun yang Bekerjasama dengan :Cakrawala Publishing Jakarta.
Cetakan Pertama : Jumadil Tsaniyah 1431 H /
Juni 2010 M Tebal : 212 Halaman. Ada dua belas bagian pembahasan utama di dalam buku ini,
yaitu :
1.
Bab I Ad-Dinul Islam,
Dari halaman 1 – 22 membahas tentang :
a.
Landasan
Pendidikan Islam
b.
Islam:
satu-satunya agama wahyu
c.
Keliru
konsep
d.
Kekeliruan
buku Harun Nasution
2. Bab
II Pendidikan Karakter Saja, Tidak Cukup,
Dari
halaman 23 – 42
3. Bab
III Pribadi Yang Ideal,
Dari halaman 43-56 membahas tentang pribadi
dan kontes kecantikan
4. Bab
IV Membangun Tradisi Ilmu Dalam Islam,
Dari
halaman 57-70 membahas tentang :
a.
Keutamaan
ilmu
b.
Keutamaan
mencari ilmu (belajar)
c.
Tradisi
ilmu dalam Islam
d.
Al-Qur’an
menjadi dasar
5. Bab
V Tradisi Ilmu: Asas
Kebangkitan Peradaban,
Dari halaman 71-80 membahas tentang Peradaban yang
unik
6. Bab
VI Ilmu Dan Kebahagiaan
Dari halaman 81-88
7. Bab
VII Ulama Dan Korupsi Ilmu,
Dari
halaman 89 – 104 membahas tentang :
a.
Tugas
ulama
b.
Kemungkaran
ilmu
8.
Bab VIII Ulama-Ulama Teladan,
Dari
halaman 105 – 118 membahas tentang :
a.
Imam
Hanafi
b.
Imam
Syafi’i
9. Bab
IX Keteladanan Mohammad Natsir,
Dari halaman 119-130
10.
Bab X Adab Terhadap Pahlawan Islam,
Dari halaman 131-148 membahas tentang :
a.
Sejarah
Dipongeoro
b.
Mencari
pahlawan wanita
11. Bab
XI Bahaya Liberalisasi Pendidikan Islam,
Dari
halaman 149-168 membahas tentang Metode
orientalis: apa hasilnya?
12. Bab
XII Pendidikan Agama Islam: Salah
Diagnosa, Salah Obat!
Dari halaman 169 – 187 membahas tentang :
a.
Misi
siapa?
b.
Soal
kualitas
c.
Salah
diagnosa, salah obat!
Penjelasan
singkat mengenai isi keseluruhan bab tersebut akan disajikan pada Bab II dari
Book Report ini.
Pengantar,
Agar Manusia Tidak Biadab
Sebelum
penulis buku ini membahas uraian, Dr. Adian memberikan catatan pengantar yang
cukup detail tapi singkat mengenai pemahaman yang ingin disampaikan melalui
buku ini. Berikut sedikit ringkasannya,
Siapakah
manusia yang baik atau manusia beradab itu? Semua fungsi dan tugas manusia itu
akan bisa dijalankan dengan baik dan benar jika manusia menjadi seorang yang
beradab. Allah menyebutkan, bahwa yang paling mulia adalah yang paling taqwa,
bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling cantik wajahnya, bukan
yang paling populer, dan juga bukan yang paling tinggi jabatannya. Apakah orang
taqwa yang didahulukan untuk bersalaman atau pejabat tinggi yang dihormati dan
didahulukan.
Lalu,
apakah yang dimaksud dengan makna ”adil” dan ”beradab” dalam sila kedua
Pancasila? Berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep
kemanusiaan yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang
adil dan beradab; bukan kemanusiaan yang zalim dan biadab. Sebab, kedua istilah
dan konsep itu memang istilah yang khas Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Sebab, memang itu
istilah yang sangat khas dalam Islam. Sebagai contoh, kriteria orang yang
mulia, menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. Masyarakat yang beradab
juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Dalam perspektif Islam,
manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas
utama mereka. Lebih dari itu, Rasulullah saw juga mengajarkan doa, agar ilmu
yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Orang
beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat
dan martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak
mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak
beradab. Masyarakat beradab – menurut Islam -- adalah masyarakat yang
memuliakan orang yang beriman, berilmu, orang yang shalih, dan orang yang
taqwa; bukan orang yang kuasa, banyak harta, keturunan raja, berparas rupawan,
dan banyak anak buah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang haus ilmu,
cinta ibadah, dan cinta pengorbanan. Pemahaman dan pengakuan tentang adab
inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis
atau ateis yang berkarakter.
Buku yang dibuat penulisnya ini sebagai kumpulan berbagai tulisan Dr. Adian
yang terkait dengan masalah pendidikan, keilmuan, dan peradaban. Pendidikan
Islam telah banyak dikebiri dan dikerdilkan bahkan diselewengkan dari tujuannya
yang mulia, yaitu mencetak manusia yang baik, mencetak manusia yang mencintai
ilmu, ibadah, dan pengorbanan. Membenahi dan mengembangkan pendidikan Islam
adalah tugas bersama berbagai kalangan umat Islam.
BAB II
DESKRIPSI BUKU
A.
Bab I Ad-Dinul Islam
Deskripsi singkat bab I
1. Landasan
Pendidikan Islam
Pemahaman akan konsep Islam yang benar sangat diperlukan, sebelum
merumuskan apa itu “Pendidikan Islam”. Bahwa, Islam harus dipahami dalam makna
bahasa, yakni sikap tunduk dan patuh. Siapa pun yang tunduk dan patuh, dapat
disebut Muslim, meskipun secara formal dia bukan beragama Islam.dan makna
teknis (istilahan). Tetapi, shalat dalam makna teknis, adalah ibadah dengan
aturan dan cara tertentu. Begitu juga Islam. Tetapi, Islam dalam makna teknis
adalah nama satu agama yang secara tegas disebutkan dalam al-Quran.
Ad-Dinul Islam juga menjadi landasan tegaknya sebuah peradaban, yang
juga bernama “Peradaban Islam”. Peradaban ini dibangun di atas satu pandangan
bahwa Islam ad-Din yang merupakan satu-satunya agama wahyu. Islam tidak
memerlukan
Jadi, karakteristik pandangan hidup Islam adalah sifatnya yang final
dan otentik sejak awal. Karena itu, pandangan seseorang terhadap hukum Islam,
akan terkait erat dengan konsep tentang agama (ad-din) yang dia pahami,
khususnya ”ad-Dinul Islam” dan perbedaaannya dengan ”Din” selain Islam. Islam
adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Dengan posisi Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah dan uswatun
hasanah (teladan yang baik), maka Islam saat ini adalah satu-satunya
agama/peradaban yang memiliki teladan (model) yang abadi sepanjang zaman.
Seluruh aspek kehidupan kaum Muslimin memiliki panduan konsep dan model yang
jelas yang diajarkan dan dicontohkan oleh Muhammad saw. Adalah Nabi Muhammad
saw yang mengenalkan kepada manusia siapa Tuhan yang sebenarnya dan bagaimana
cara beribadah kepada-Nya.
2. Islam:
Satu-Satunya Agama Wahyu
Setelah wahyu Allah swt sempurna diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,
maka Allah menegaskan, bahwa ”Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu
agamamu, dan Aku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai
agamamu.” (QS 5:3).
Ayat ini secara tegas menyebutkan, bahwa ”Islam” adalah agama yang
diridhai oleh Allah. Dan kata ”Islam” dalam ayat ini adalah menunjuk kepada
nama agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Islam
memelihara kontinuitas kenabian, maka dalam pandangan Islam, Islam adalah
satu-satunya agama yang memelihara kontinuitas wahyu.Dengan itu, maka Islam
adalah satu-satunya agama yang memiliki ritual yang universal, final, dan
otentik, karena Islam memiliki teladan (model) yang final sepanjang zaman.
Sebagai agama wahyu,
Islam memiliki berbagai karakter khas:
Pertama, diantara agama-agama yang ada, Islam
adalah agama yang namanya secara khusus disebutkan dalam Kitab Sucinya.
”Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam.” ”Barangsiapa yang
mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti
akan termasuk orang-orang yang merugi.”
Kedua, dalam soal
nama dan konsep Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan
berdasarkan wahyu dalam al-Quran yang juga bersifat otentik dan final. Tuhan,
dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama
diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan
sifat-sifat Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia. (QS al-Ikhlas). Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang
budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah
dengan cara yang sama.
Ketiga, Karena keotentikan wahyu dalam Islam,
maka Islam juga memiliki konsep ibadah yang final dan otentik, tetap sepanjang
zaman, dan tidak berubah-ubah mengikuti dinamika perkembangan zaman. Islam
memiliki ibadah yang satu, yang melintasi zaman dan tempat. Kapan pun dan di
mana pun, umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, zakat, dengan cara yang
sama, dan tidak tergantung pada kondisi waktu dan tempat. Tetapi, perlu
dicatat, bahwa hanya umat Islam-lah yang kini memiliki ritual yang satu.
Tradisi seperti ini berbeda dengan konsep agama-agama lain yang memiliki ritual
yang berbeda-beda, tergantung waktu dan tempat.
Keempat, Konsep wahyu yang otentik dan final
yang lafzhan wa ma’nan minallah tidak memungkinkan al-Quran menerima model
penafsiran hermeneutis ala Bibel yang menghasilkan kerelativan hukum Islam. Ini
akan sangat berbeda dengan orang yang melihat agama – termasuk Islam – sebagai
’gejala budaya’.
Uswah hasanah (teladan yang baik) adalah konsep yang penting dalam
dunia pendidikan. Islam memiliki uswah yang sempurna, yaitu Nabi Muhammad saw,
yang juga seorang pendidik teladan. Nabi Muhammad adalah contoh, teladan yang
mulia, teladan yang lengkap bagi seorang Muslim. Beliau berhasil
manusia-manusia hebat yang terkumpul dalam satu generasi dan berhimpun dalam
masyarakat yang sangat mulia. Masyarakat Madinah, bentukan Rasulullah saw,
adalah masyarakat yang haus ilmu, masyarakat yang cinta pengorbanan, dan
masyarakat yang rindu akan ibadah.
3.
Keliru Konsep
Para guru dan orang tua perlu berhati-hati dalam mengajarkan tentang
konsep Islam dan konsep agama-agama kepada murid atau anak-anaknya. Bisa jadi
sebagian isinya benar dan sebagian isinya yang lain keluru. Bahwa ada teori
lain tentang agama yang menyatakan, bahwa agama asli dan tertua adalah
monoteisme, yang berasal dari wahyu Tuhan. Teori monoteisme ini dianut oleh
umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Salah satu agama monoteisme yang menggabungkan unsur-unsur Hindu dan
Islam adalah Sikh.”, diuraikan teori yang membagi agama ke dalam dua kelompok,
yaitu agama samawi (agama langit) dan agama ardi (agama bumi). Agama samawi
adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan, sedangkan agama ardi adalah agama
hasil. Agama samawi disebut pula ”agama wahyu” dan agama ardi disebut pula
”agama alamiah”. Umumnya kaum muslim memandang bahwa agama samawi adalah
Yahudi, Kristen, dan Islam.
Padahal, pendapat yang melebarkan makna ahlulkitab selain untuk Yahudi
dan Kristen adalah pendapat yang lemah, dan hanya sebagian kecil mufassir yang
berpendapat seperti itu. Kajian yang serius tentang Ahl Kitab telah dilakukan,
misalnya, oleh Quraish Shihab dalam bukunya ”Wawasan al-Quran” (1996:368) dan
Dr. Muhammad Galib dalam bukunya ”Ahl Kitab Makna dan Cakupannya” (1998:36-37),
yang juga diterbitkan oleh Paramadina yang membahas tentang Islam dan agama
lain, ditulis: ”Dalam Al-Qur’an, orang Yahudi dan Kristen disebut dengan
ahlulkitab.
Dalam teologi Islam, mereka dimasukkan ke dalam golongan ahlulkitab
yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang yang beriman.” Yaitu
orang-orang Yahudi dan Nasrani dan musyrikin penyembah berhala.” Siapa pun yang
beriman kepada Allah dengan benar dan beriman kepada al-Quran maka dia sudah
menjadi muslim dan bagian dari umat Islam.
Sangat disayangkan, buku ini mengandung banyak informasi yang keliru
dan mengelirukan tentang Islam. Sebab, konsep pendidikan Islam pasti didasarkan
pada Islam. Itulah pentingnya memahami Islam dengan benar agar pendidikan Islam
menjadi benar, dan menghasilkan produk pendidikan yang benar juga.
4. Kekeliruan
Buku Harun Nasution
Salah satu buku teks di Perguruan Tinggi yang keliru dalam mengajarkan
tentang konsep Islam adalah buku karya Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Harun menempatkan Islam sebagai agama
yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama
yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda
dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya
(historical dan cultural religion). “Agama-agama yang dimasukkan ke dalam
kelompok agama monoteisme, sebagai disebut dalam Ilmu Perbandingan Agama,
adalah Islam, Yahudi, Kristen, dengan kedua golongan Protestan dan Katholik
yang terdapat di dalamnya, dan Hindu. Tetapi dalam pada itu kemurnian tauhid
dipelihara hanya oleh Islam dan Yahudi. Inilah cara pandang Islam terhadap
agama-agama. Bahkan, banyak yang menetapkan era Harun Nasution sebagai tonggak
perubahan dalam studi Islam
B. Bab
II: Pendidikan Karakter Saja, Tidak
Cukup
Deskripsi singkat bab II
Karakter yang baik lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa.
Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Banyak pakar
bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi
perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Manusia Indonesia
sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang
dibuatnya sendiri.” Tentu saja, banyak yang membantah. Uang habis perkara”, dan
sebagainya, mencerminkan budaya jalan pintas dan kolusi yang semakin parah.
Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang
plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang
lemah,” tulisnya. Memang ada pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara
Katolik dengan Islam. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu
dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam
program itu! Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Natsir adalah contoh
guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah
orang yang sangat haus ilmu. “Dahulu,
mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya
tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup
dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak
berpuluh dan beratus tahun yang lampau
Ini masalah bangsa yang sangat serius. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya.
Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang
paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan
anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang
berharta. Tidak cukup! Lalu, dimana perbedaan antara Muslim dan non-Muslim yang
berkarakter? Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi
seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan
beradab.
Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali
dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang
shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika
al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling taqwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat
kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Dalam
masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang
pelajar yang memenangkan Olimpiade fisika. Makhluk merupakan tindakan yang
tidak beradab
Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. “Orang baik” atau good
man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Pendidikan, menurut
Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus!
C. Bab
III: Pribadi Yang Ideal
Deskripsi singkat bab III
Pribadi
dan Kontes kecantikan
Dr. Adian membahas uraian ini dengan menampilkan sosok Hamka. Dengan
gaya bahasa yang renyah dan sederhana, Hamka menggambarkan apa dan bagaimana
seharusnya sebuah pribadi yang kokoh dan ideal dibangun. Ada ungkapan bahasa
Latin yang terkenal mens sana in corpore sano (jiwa yang sehat ada dalam tubuh
yang sehat). Menurut Hamka, orang yang bijaksana adalah orang yang tetap
pendapatnya, jauh pandangannya dan baik tafsirnya. Dia dapat menyisihkan mana
yang benar dan mana yang salah; memilih mana yang patut dikerjakan dan mana
yang patut ditinggalkan. Orang bijak juga kenal akan tempat dan waktu.
Alat-alat untuk menumbuhkan bijaksana, ialah: Bersiap dan tidak terburu-buru , Ilmu
dan pengalaman, Cerdik cendekia, Teguh dan tetap hati.
Orang yang tahu diri, tahu akan potensi dan kelemahan dirinya. Yang
perlu ialah ia bekerja keras. Pendidikan Islam, selain bertujuan menambah ilmu,
juga bertujuan membentuk sikap, karakter, dan pribadi yang mulia. Kadangkala,
pribadi yang teguh dan kokoh pendirian memang bisa muncul dari orang yang bukan
berideologi Islam. Seharusnya, yang diberi penghargaan adalah aspek-aspek yang
bersifat pencapaian dan prestasi, seperti siawa atau rakyat yang berprestasi
dalam penemuan-penemuan ilmiah. Semua itu adalah anugerah yang sudah
dikaruniakan Allah kepada seseorang.
D. Bab
IV: Membangun Tradisi Ilmu Dalam Islam
Deskripsi singkat bab IV
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian).
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.
1. Keutamaan
Ilmu
”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” ”Barangsiapa yang dikehendaki
Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya faqih (memahami dengan baik)
dalam masalah agama (Islam) dan mengilhami petunjuk-Nya.” Orang-orang yang
terbaik di masa jahiliyah adalah orang-orang yang terbaik juga di dalam Islam,
apabila mereka memahami Islam.” Umar r.a. Berkata: ”Kematian seribu ’abid (ahli
ibadah) yang mendirikan malam dan puasa di siang hari adalah lebih ringan
daripada kematian seorang ’alim yang mengetahui apa yang dihalalkan dan yang
diharamkan oleh Allah.”
2. Keutamaan
Mencari Ilmu (Belajar)
Selain pahalanya yang sangat besar, ilmu juga menjadi landasan keimanan
dan landasan amal. Banyak orang yang terpedaya dengan nikmat sehat dan
kelonggaran, sehingga tidak dapat memanfaatkan waktu itu dengan baik.
”Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu
karena ridha dengan apa yang ia lakukan.”
.
3. Tradisi
Ilmu Dalam Islam
Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur dan mendapatkan
pengakuan yang luas. Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang
sangat mulia dan seorang ahli ibadah yang tekun. Islam adalah agama yang sangat
menjunjung tinggi tradisi ilmu dan sangat menghargai ilmu. Beberapa orang dan
menanyakan manakah yang lebih mulia ilmu atau harta. Rasulullah saw telah
memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Para sahabat Nabi saw dikenal
sebagai orang-orang yang “gila ilmu”. Tradisi baca dan tulis-menulis begitu
hidup dalam masyarakat, yang sebelumnya didominasi tradisi lisan.
4. Al-Qur’an
Menjadi Dasar
(Kehidupan, bagi sebagian besar masyarakat Kristen Eropa adalah
singkat, brutal dan biadab, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih,
terpelajar, dan rezim yang toleran di wilayah Muslim Spanyol). Cambridge
didirikan dengan mengambil model kampus-kampus terkenal dan hebat yang ada di
Andalusia. Dan ia menjawab sendiri, bahwa di masa lalu, dunia Islam mampu
menyelesaikan problemnya. Dan berkat prinsip-prinsip dasar keimanannya, maka
Islam akan mampu mewujudkan kehidupan yang penuh toleransi terhadap agama dan
budaya lain. Bahkan, katanya, berkat terpeliharanya keyakinan dan keimanan yang
tak tergoyahkan, siapa atau apa yang mampu menghentikan Islam?
Karena itu, al-Quran sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara
orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan
diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang
tidak tahu.” “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” Karena itulah, Allah mengecam
keras orang-orang yang tidak menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan
meraih ilmu.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” Dengan ilmu, kita dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah
E. Bab
V : Tradisi Ilmu: Asas Kebangkitan
Peradaban
Deskripsi singkat bab V
Peradaban yang
unik
Islam, menurut penulis buku ini, memiliki akar konsep dan budaya yang
kuat dalam pengembangan tradisi dan budaya ilmu. Budaya ilmu di dalam Islam
memang khas. Umur manusia yang terbatas tidak memungkinkan manusia mengejar
semua ilmu. Maka, perlu dipelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Makna ayat Quran:
”Hanyasanya hanya mereka yang berilmu yang takut kepada Allah.” Tradisi ilmu
yang unik dalam Islam, juga melahirkan sebuah peradaban yang unik, yaitu
Peradaban Islam. Peradaban ini adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur
dunia dan akhirat. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari
dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Inilah peradaban Islam: bukan
peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan
materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi
Ilmu dalam masyarakat Barat yang membuang agama dalam kehidupan mereka.
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan
dari daftar ulama. Karena itu, tradisi ilmu dan peradaban yang dibangun oleh
Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang dibangun dalam peradaban sekular.
Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi
Ilmu.”
Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai
adab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan
seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya
dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam
diri, masyarakat, dan lingkungannya. Tujuan ilmu yang tertinggi adalah mengenal
Allah swt. Orang-orang yang
Masyarakat madani, masyarakat yang beradab, adalah masyarakat yang
mengamalkan ajaran agama. Pendidikan semacam ini harus dibangun di atas konsep
ilmu yang benar. Pendidikan akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun diatas
konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang kepada
ketakwaan dan kebahagiaan.
F.
Bab VI : Ilmu Dan
Kebahagiaan
Deskripsi singkat bab VI
Apakah yang dimaksud bahagia? Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk
kepada keyakinan diri akan
Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang
yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu
berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” Inilah yang disebut sebagai ilmu yang
mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap peserta didik harus
besungguh-sungguh untuk memahami ilmu yang benar dan bermujahadah untuk meraih
kebahagiaan yang hakiki; kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan
akhirat. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya
uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri,
dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia
yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam
keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak. Alangkah indah dan bahagianya
hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat. Orang yang yakin dengan kehidupan
akhirat, yang memiliki dimensi akhirat dalam pandangan hidupnya, pasti akan
berbeda dengan orang materialis, yang melihat kehidupan hanya kehidupan dunia
saja. Iman yang kokoh akan didapatkan melalui ilmu yang benar, yakni ilmu yang
mengantarkan pada satu keyakinan.
G. Bab
VII : Ulama Dan Korupsi Ilmu
Deskripsi singkat bab VII
Ulama yang menjadi salah satu referensi Dr. Adian adalah adalah Haji
Abdul Malik Karim Amrullah, HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang
sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Pada tahun 1932, menjadi editor dan
menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat
monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Alkisah, Hamka, adalah seorang
tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam.
1.
Tugas ulama
Dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Keteguhan
dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga
kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Rasulullah saw bersabda: ”Di
akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.”
Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada
Allah. Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang
ringan dan kejahilan yang berat.
Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam
masjid. Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena
ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya
mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang
rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini
akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang
kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang
terpercaya. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang
cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir.
Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka
orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Banyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman
dengan baik. Mereka sesat dan
menyesatkan. Yang paling dikhawatirkan beliaua dalah munculnya orang-orang
munafik yang canggih dalam berargumentasi (‘aliimil lisan). Jika orang-orang
yang berposisi – atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki
kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang
paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang
memprihatinkan.
Penulis berharap bahwa kita ke depan, pesantren-pesantren dan lembaga
pendidikan Islam di Indonesia akan benar-benar menjadi pusat pengembangan keilmuan
Islam dan pusat kaderisasi ulama yang tangguh – yang benar-benar ’alim dan
shalih. Mereka jauh dari publikasi dan kehidupan duniawi yang layak. Orang yang
alim dan bertaqwa kepada Allah pasti akan dijamin oleh Allah swt.
2.
Kemungkaran ilmu
Salah satu kewajiban penting yang diamanahkan oleh Rasulullah saw
kepada kaum Muslim, dan khususnya kepada para pewaris nabi, yakni para ulama,
adalah “al amru bil ma’ruf dan al-nahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang
ma’ruf dan mencegah kemungkaran). Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena
misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Yang mana yang dimaksud dengan munkar. Yakni, kemungkaran yang mengubah dasar-dasar
Islam. Inilah kemungkaran yang berawal dari kerusakan ilmu-ilmu Islam, yang
menyangkut asas-asas pokok dalam Islam.
“Kemungkaran ilmu” merupakan kemungkaran yang terbesar dalam perspektif
Islam. Sebab, jika ilmu salah, maka akan muncul ulama yang salah. Kemungkaran
ilmu adalah sumber kesalahan asasi dalam Islam. Ilmu yang salah mengacaukan
batas antara al-haq dan al-bathil. Orang yang bathil tidak menemukan jalan
untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah tindakan yang
baik. Pertama, kejahilan yang ringan, iaitu kurangnya ilmu tentang apa yang
seharusnya diketahui; dan kedua, kejahilan yang berat, yaitu keyakinan salah
yang bertentangan dengan fakta ataupun realita, meyakini sesuatu yang berbeda
dengan sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda
dengan yang seharusnya. Kejahilan yang ringan dapat dengan mudah diobati dengan
pengajaran biasa ataupun pendidikan, tetapi kejahilan yang berat, sebagaimana,
merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan,
dan akhlak individu dan masyarakat, sebab kejahilan jenis ini bersumber dari
diri rohani yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan
terhadap kebenaran.
Tetapi, ilmu yang mereka punyai dan mereka sebarkan ke tengah
masyarakat, adalah ilmu yang keliru. Paham atau ilmu-ilmu yang munkar. Paham
dan pemikiran Pluralisme Agama, relativisme, sofisme, hermeneutika,
sekularisme, liberalisme, dan sebagainya, kini telah diajarkan dan disebarkan
oleh para tokoh dan lembaga-lembaga pendidikan Islam sendiri. Sementara itu,
begitu banyak kalangan cendekiawan Muslim atau ulamanya yang tidak dapat melakukan
respon yang tepat, karena tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sebab, paham ini sejatinya memang menghancurkan agama-agama yang ada.
Zaman yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Zaman dimana
orang-orang yang diamanahi menjaga Islam (ulama) justru banyak diantara mereka
yang menyerang Islam. Zaman dimana dari lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam,
justru muncul orang-orang yang bekerja untuk merobohkan Islam. Zaman dimana
orang-orang yang belajar dan mengajar ushuluddin (dasar-dasar agama), banyak
diantaranya yang justru mengajarkan ilmu-ilmu yang meragukan kebenaran Islam.
Para tokoh dan organisasi-organisasi Islam seharusnya sadar akan hal ini.
H. Bab
VIII : Ulama-Ulama Teladan
Deskripsi singkat bab VIII,
Penulis ini menanpilkan 2 sosok tokoh ulama besar yang dianggap bisa
member teladan didalam member gambaran pemahaman pentingnya pendidikan Islam
dalam upaya membentuk manusia berkarakter dan beradab. Kata kunci dari 2 tokoh
ini adalah bangga dengan kedudukannya sebagai seorang berilmu. Dan Pentingnya
niat yang ikhlas dalam mencari ilmu.
1. Imam
Hanafi
Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafy, seorang ulama besar, yang sangat
terkenal ketinggian ilmu dan akhlaknya. Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada 80
Hijriah (699 M) dan wafat pada tahun 150 Hijriah (767 M), tepat saat Imam
al-Syafii lahir.
Sering dikatakan, Imam yang satu pergi, datang Imam yang lain. Padahal, Sang Imam diberi jabatan tinggi,
sebagai kepala “Tata Usaha” Gubernuran yang bertugas menandatangani semua
surat-surat resmi yang keluar dan yang bertanggung jawab atas uang
perbendaharaan negara yang di keluarkan dari Gubernuran. Tetapi jabatan yang
sepenting dan setinggi itu, tidak diterima oleh Imam Abu Hanifah. Karena
itulah, ia ditangkap lagi dan dijebloskan ke dalam penjara. Beliau dikenal
sebagai orang besar yang gagah berani, ahli fikir yang hebat dalam memecahkan
soal-soal yang bertalian dengan hukum-hukum agama. Tawaran jabatan yang
setinggi itu oleh beliau ditolak.
Wafat di penjara, dalam kehidupan yang ia pilih sendiri, karena menolak
jabatan yang ditawarkan kepadanya. Sang Imam bersyukur dan bangga dengan
kedudukannya sebagai seorang berilmu. Islam tidak mengharamkan jabatan dan
harta. Akhirat adalah kehidupan dan tujuan yang hakiki. Imam Hanafy telah
memberikan teladan yang luar biasa dalam tradisi keilmuan Islam.
2. Imam
Syafi’i
Dalam riwayatnya, Imam Syafii sendiri menceritakan, bahwa beliau lahir
di Gaza, Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah Di
Baitullah, beliau menghafal al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra
Arab, termasuk syair. Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur
dan mendapatkan pengakuan yang luas. Memahami al-Quran dan Sunnah Rasulullah
saw. Beliau tidak pernah merasa puas dalam mencari dan mengumpulkan hadits.
Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang sangat mulia dan seorang
ahli ibadah yang tekun.
Para ulama itulah yang menjadi pewaris para Nabi. Tanpa mereka, kita
tidak mampu mewarisi dan menerapkan Islam dengan baik. Karena itu, Islam sangat
memuliakan harkat ulama dan ilmu. Islam tegak diatas ilmu. Karena itu, salah
satu masalah serius yang diakibatkan dalam kegiatan orientalisme dalam studi
Islam adalah rusaknya ilmu-ilmu Islam. Dan Imam Syafii menjadi salah satu
sasaran tembak yang strategis.
Pentingnya niat yang ikhlas dalam mencari ilmu. Hanya melalui
pengkajian yang serius dan pemahaman keislaman yang benar, umat Islam akan
terhindar dari arus penghancuran ilmu dan aqidah Islam di zaman yang penuh
dengan fitnah ini.
I.
Bab IX : Keteladanan
Mohammad Natsir
Deskripsi singkat bab IX
Pendidikan Islam diperolehnya sejak kecil dari orang tua dan
lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), dan AMS di
Bandung (1930). Tetapi, tidak banyak yang mengenal Natsir sebagai seorang tokoh
Pendidikan Islam. Padahal, gagasan dan kiprahnya di bidang ini sangat
fenomenal. Dia dibesarkan pada keluarga muslim yang taat. Kemauannya yang kuat
dalam mempelajari ilmu-ilmu agama menjadikan Natsir cepat mengusai bahasa Arab
dan ilmu-ilmu lain.
Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan pendidikan Islam
membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Di sekolah Pendidikan Islam
inilah, para siswa digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Ia memang
seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Kecintaan Natsir di
bidang keilmuan dan pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan
sejumlah universitas Islam. Tidak ada
satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka
daripada agama Islam.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang
Muslimin dari genggaman Islam). Yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk
memperteguh benteng keislaman.
J.
Bab X : Adab Terhadap
Pahlawan Islam
Deskripsi singkat bab X
Poin penting dari bab ini yang ingin disampaikan Dr. Adian bahwa
Pangeran Diponegoro selain sebagai pahlawan perjuangan secara fisik tetapi juga
dia adalah sosok pahlawan yang menegakkan kebenaran Islam, Serta dari tokoh
wanita bahwa wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik.
1.
Sejarah Dipongeoro
Para pahlawan Islam adalah mereka yang telah mengorbankan apa yang
sangat mereka cintai demi tegaknya sebuah kebenaran yang mereka yakini. Para
pahlawan ini telah memberikan teladan yang tinggi dalam kehidupan. Diponegoro
adalah mujahid yang terkenal dengan pakaian jubah dan sorbannya. Suasana kraton
yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif
untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo.
Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jubahnya, kemudian
diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi
bangsa Indonesia. Saya masih menemukan banyak sekolah Islam yang masih
mengajarkan cerita tentang Diponegoro yang keliru dan tidak menggambarkan
Diponegoro sebagai seorang pahlawan Islam.
Pelajaran sejarah sangat penting diberikan dengan mengungkap fakta dan
perspektif yang benar untuk membentuk persepsi dan sikap hidup. Tidak ada yang
tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia.
2.
Mencari pahlawan
wanita
Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia.
Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif
mengembangkan ilmu pengetahuan. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan
berkembang pesat. Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk
Indonesia. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan
Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan
luar Bandung. Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan
itu? Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan
yang lebih baik. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu
sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam.
Kartini adalah wanita yang bercita-cita tinggi. Yang tinggi diletakkan
di tempat tinggi. Jika ada yang lebih tinggi, maka yang lebih tinggi juga harus
diletakkan di tempat yang lebih tinggi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
”Mufti” Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Itulah strategi dan
taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu
pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam.
K. Bab
XI : Bahaya Liberalisasi Pendidikan
Islam
Deskripsi singkat bab XI
Apa yang dimaksud dengan gagasan Islam progresif, yang belakangan
sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman Islam yang seharusnya dianut
umat Islam. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung,
tangan dan organ tubuh yang lain. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang
kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.”
Bagi kita yang Muslim dan normal, pendapat seperti ini jelas amat
sangat salah. Dikatakan di pengantar Jurnal ini, bahwa: “Hanya orang primitif
saja yang Yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan
berbahaya.” Mengapa jurnal yang dalam berbagai edisinya sangat melecehkan
al-Quran dan syariat Islam bisa terbit dengan bebas di sebuah kampus yang
menyandang nama Islam? Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini, hanya oknum
saja. Mengapa sebuah lembaga pendidikan yang menyandang nama Islam membiarkan
berbagai pemikiran yang menyimpang -- bahkan yang melecehkan Islam --
berkembang?
Dalam Islam, seorang ulama harus berilmu tinggi dan sekaligus berakhlak
mulia. Banyak ilmuan besar Islam yang tetap memelihara sikap adil dan beradab
dalam mengkaji dan menyebarkan ilmu kepada masyarakat. Dunia keilmuan Islam
juga menjunjung tinggi akhlak dan moralitas. Sebagai satu peradaban besar yang
masih bertahan hingga kini, Islam juga memiliki akar sejarah dan tradisi
intelektual yang khas. Tinggi Islam
seharusnya tetap menerapkan adab dalam ilmu, dengan cara tidak menyamakan ulama
Islam yang shalih dengan ilmuwan kafir atau fasik. Apalagi, sampai dia bersikap
apriori terhadap tradisi Islam dan ulama Islam, dan kemudian dengan mudah
menghujat atau mengkritik para ilmuwan besar Islam tanpa melakukan kajian yang
serius dan mendalam.
Sebenarnya salah satu tugas Pendidikan Tinggi Islam yang penting adalah
melakukan penguatan terhadap metode dan sistem keilmuan Islam, dan pada saat
yang sama, melakukan kajian yang serius terhadap pemikiran-pemikiran Islam,
untuk diletakkan dan dinilai dalam perspektif Islamic worldview.
Ilmu adalah hal mulia dalam pandangan Islam. Ilmu yang rusak akan
melahirkan pemahaman dan amal yang rusak pula. Karena begitu mulianya kedudukan
ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya
untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat
dalam meraih ilmu.
Salah satu ciri tradisi keilmuan Islam adalah menyatukan antara ilmu
dan amal, antara ilmu dan akhlak. Maka di dalam Islam, jika ada ilmuwan/ulama
yang fasik atau rusak amalnya, dia tidak diterima sebagai bagian dari ulama
Islam. Para imam mazhab adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlak tinggi.
Seorang yang berilmu Islam wajib mengamalkan ilmunya. (Dan orang yang berilmu
yang tidak Sudahkah kampus-kampus Islam mendidik mahasiswanya agar menjadi
orang yang berilmu tinggi dan beramal shalih? Dari hari ke hari di
kampus-kampus Islam semakin berjubel alumni studi Islam di Barat yang terkadang
membawa tradisi pemisahan ilmu dan amal. Para orientalis juga mendidik para
sarjana Muslim agar menjadi pengamat agama yang baik, tanpa harus menjadi orang
yang beragama yang sungguh-sungguh. Inilah salah satu tantangan terberat yang
sedang dan akan dihadapi umat Islam Indonesia dan juga umat Islam di berbagai
belahan dunia yang lain.
Sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini
lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah.
Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis
kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji,
diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan ‘diamankan’. Cita-cita mulia itu
tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa
membedakan mana yang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat
dan mana ilmu yang madharat.
Kita perlu menegaskan kembali bahwa Tujuan Utama dari Pendidikan Islam
adalah untuk mencetak manusia-manusia yang baik. Jika orang itu memiliki
kecerdasan tinggi, maka seharusnya dia diarahkan menjadi ulama atau cendekiawan
yang baik, yang memiliki keilmuan tinggi dan akhlak yang mulia. Yang baik, tukang las yang baik, teknisi
komputer yang baik, petugas kebersihan yang baik. Di akhirat, semua akan
mempertanggungjawabkan seluruh amanah yang diterimanya.
Itulah tujuan pendidikan Islam yang hakiki, mencetak manusia yang baik,
sesuai dengan potensi dan kesempatan yang diberikan Allah kepadanya. Jika
pendidikan Islam justru melahirkan manusia-manusia yang gila dunia, gila
jabatan, pemalas, pembohong, dan karakter buruk lainnya, maka bisa dipastikan
ada yang salah dengan pendidikan Islam tersebut.
L. Bab
XII : Pendidikan Agama Islam: Salah Diagnosa, Salah Obat!
Deskripsi singkat bab XII
Penelitian PPIM-UIN Jakarta memberikan sebuah kajian bahwa ”Dari 500 responden,
67,4% mengaku merasa sebagai orang Islam dan hanya 30,4% yang merasa sebagai
orang Indonesia,” Sementara itu, ada 85,6 persen guru
agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan apa yang dipersepsikan
sebagai “Tradisi Barat”. Begitu juga ada 87 persen yang menganjurkan muridnya
untuk tidak mempelajari agama-agama lain; dan 48 persennya lebih menyukai
pemisahan murid laki-laki dan wanita dalam kelas yang berbeda.
1. Misi
siapa?
Secara jelas, penelitian PPIM-UIN Jakarta membawa misi besar untuk
merombak pola pikir para guru agama di masa depan. Mereka diharapkan agar
menjadi pluralis, tidak konservatif, tidak radikal. Mereka nantinya harus mau
menerima pemimpin non-Muslim, menerima guru non-Muslim, menolak penerapan
syariah, mendukung hak murtad, mendukung perayaan-perayaan model Barat, dan
sebagainya. Itulah yang disebut oleh Direktur PPIM-UIN Jakarta itu sebagai
jenis ”Islam moderat”, ”Islam pluralis”, atau entah jenis Islam apa lagi.
Misi inilah yang sebenarnya sedang diemban oleh lembaga-lembaga
penelitian dan pendidikan Islam yang menjadi agen dari pemikiran dan
kepentingan Barat. AS dan kawan-kawan memang sangat serius dalam menggarap
pendidikan Islam di Indonesia. Umat Islam harusnya sadar akan tantangan besar
yang mereka hadapi.
Yang menjadi persoalan utama pada pendidikan Islam – yang harusnya
sudah diatasi oleh para pejabat Pendidikan Islam – adalah soal kualitas guru
dan kualitas buku pelajaran Agama Islam. Simaklah fakta kualitas pendidikan
agama Islam di berbagai sekolah dan Perguruan Tinggi.
2. Soal
kualitas
Namun, yang perlu diperhatikan adalah soal kualitas dan beberapa
kekeliruan isi buku. Dalam masalah toleransi dan aqidah, sebuah buku Pendidikan
Agama Islam untuk kelas 3 SMA keluaran sebuah penerbit di Solo mengajarkan hal
yang tegas dalam soal aqidah: ”Dalam hal akidah, seorang muslim dilarang
bekerja sama dengan nonmuslim.” Masuk dan mengikuti ajaran Islam. Akan tetapi,
sebenarnya peristiwa itu adalah hal yang logis dan masuk akal. Tentu ini materi
yang baik. Padahal, para wali yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa, misalnya,
adalah para ulama yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ada lagi sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA keluaran
sebuah penerbit di Bandung, yang dengan gegabah menyajikan materi sejarah Islam
Indonesia. Sehingga ilmu pengetahuan
Islam hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.” Juga ditulis: ”Dapat
dikatakan, ajaran Islam yang berkembang pada abad pertengahan adalah ajaran
tasawuf dan tarekat, yang cenderung mengungkung orang untuk berkreatifitas dan
berkarya secara bebas.”
Pada bagian berikutnya dari buku ini dibahas tentang ”Pengaruh Perkembangan
Dunia Islam Abad Pertengahan terhadap Islam dan Umat Islam di Indonesia.” Ia
memaparkan: “Dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu Islam yang berkembang pada masa
itu, hanyalah ilmu tasawuf dan tarekat, disamping ilmu fiqih dan tauhid sebagai
sekedar pelengkap ibadah semata. Para tokoh dan ulama yang muncul pada masa itu
juga hanya ulama-ulama tasawuf dan tokoh-tokoh tarekat. Hampir tidak ditemukan
nama-nama ulama fiqih, hadits, tafsir, dan yang lainnya. Dari beberapa paparan
tentang sejarah Islam Indonesia tersebut, tampak jelas, bahwa si penulis buku
Pendidikan Agama Islam ini tidak mempunyai visi dan misi yang jelas tentang
sejarah Islam.
Suara-suara yang menolak pendidikan Agama di sekolah- Ini perlu kerja
keras dan perlu guru-guru agama yang berkualitas tinggi. Problem utama pendidikan agama Islam ini perlu
dicermati dengan secermat-cermatnya, dengan perspektif dan niat yang benar.
Diantara penyebabnya adalah adanya uraian bias yang disuarakan oleh para “elite
agama” dalam menyuarakan dan mendoktrinkan bahwa hanya pada agama yang
dianutnyalah satu-satunya jalan kebenaran dan agama lainnya sebagai jalan yang
menyimpang.”
Padahal, gagasan semacam ini tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta.
Sebab, itu tidak mungkin. Penggunaan konsep multikulturalisme dalam studi
agama, dengan demikian, tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran agama. Inti dari studi agama adalah mengembangkan pemahaman
terhadap pelbagai dimensi yang terdapat dalam agama.” Tetapi, sebagai sesama
Muslim, kita juga diwajibkan untuk bersikap kritis dan saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran. Ketika kita SD, kita menjadi Muslim dan berpikir
sebagai seorang Muslim. Itu, menurut saya, logika yang sederhana dan benar.
3. Salah
diagnosa, salah obat!
Dr. Adian berpendapat, bahwa di seluruh lembaga pendidikan Islam, orang-orang
yang aktif di lembaga-lembaga Islam itu sudah mengaku Muslim dengan
mengikrarkan syahadat. Sebab, tanpa keimanan dan kerelaan untuk menjadikan Nabi
Muhammad saw sebagai “uswah hasanah” dalam ibadah dan kehidupan, manusia pasti
gagal untuk mengenal Allah dengan benar dan tidak dapat beribadah dengan benar.
Sejarah menunjukkan, bagaimana Rasulullah saw dan para Khulafaurasyidin telah
menunjukkan keteladanan yang tinggi dalam menciptakan kerukunan umat beragama,
dengan tetap meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima Allah.
Ilmuwan sekular melihat agama-agama pada posisi netral agama, yang
tidak bersandar pada pandangan satu agama tertentu. Artinya, syariat yang benar
adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Itulah keyakinan Islam. Bentuk
ibadah adalah hal yang sangat mendasar dalam Islam. Islam tidak memisahkan
aspek eksoterik dan aspek esoteric. Islam secara tegas menolak bentuk ibadah
yang sah, selain yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Jadi, dalam Islam,
aspek eksoterik dan esoteric adalah sama-sama penting.
BAB
III
KOMENTAR
Melalui buku ini Dr. Adian
husaini memberikan perspektif keislaman terhadap pendidikan karakter yang
berlandaskan Islam. Bahwa pendidikan karakter saja tidak cukup. Bagi seorang
muslim yang wajib juga dikembangkan adalah pendidikan adab, untuk membentuk
manusia beradab. Disamping itu diberikan jalan bagaimana membentuk manusia
beradab, yaitu dengan membangun tradisi ilmu yang benar.
Buku ini merupakan
salah satu panduan dalam memahami tujuan dan sifat pendidikan Islam. Buku ini
bukan hanya ditujukan untuk kaum akademisi saja, tetapi hendaknya orang tua dan
setiap pribadi muslim bisa memahami makna-makna yang terkandung dalam pendidikan
Islam.
Pendidfikan Islam
tidak hanya membentuk manusi unggul, tetapi juga membentuk manusia beradab,
manusia yang mengenal Tuhannya, mengenal utusan-Nya dan mencintainya, mengenal
dan mengembangkan potensinya dan meyakini kebenaran-Nya. Pendidikan Islam
adalah universal, manusia yang mengenal dirinya, masyarakatnya, Nabinya,
Tuhanya, bahkan sejarahnya. Pendidikan Islam berlaku sepanjang hayat. Dan juga
pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk jihad fisabilillah dan media
dakwah dalam mempersiapkan generasi muda penerus yang unggul.
Dr. Adian memberikan
juga deskripsi yang bagus sebagai referensi dengan menampilkan sosok-sosok
manusia teladan yang berkarakter dan beradab, seperti Imam Hanafi, Imam
Syafi’I, Mohammad Natsir, Pangeran Diponegoro dan lain-lain. Kritik-kritik
terhadap konsep yang keliru dan tidak sesuai dengan adab dan kasus
penokohansejumlah pahlawan. Kritik-kritik terhadap gagasan dan upaya perbaikan
pendidikan yang keliru menurut pandangannya diantaranya pendidikan berbasis
multikultulralisme yang oleh konseptornya dimaksudkan untuk menghilangkan
keyakinan kaum muslima akan kebenaran agamanya.
Bahwa landasn pokok
dalam pendidikan Islam adalah konsep Ad-Dinnul Islam sebagai agama wahyu, bukan
sebagai agama budaya. Perumusan pengembangan konsep pendidikan Islam tidak
boleh keliru didalam tujuan membentuk manusia berkarakter dan beradab.
0 Komentar